Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
PARA juragan bank bermodal cekak merasa dilematis. Ketika kinerja banknya merosot terkena pandemi COVID-19, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator mewajibkan bank umum mampu memenuhi modal minimum Rp3 triliun pada akhir 2022. Menurut data Biro Riset Infobank (BirI) per September 2021, masih ada 52 bank bermodal inti kurang dari Rp3 triliun, bahkan 40 bank diantaranya bermodal kurang dari Rp2 triliun.
Salah satunya Bank Mayora yang modalnya masih Rp1,22 triliun. Jogi Hendra Atmadja, pemegang saham mayoritas, harus menambah modal Rp1,78 triliun agar modal Bank Mayora bisa menemuhi ketentuan permodalan minimum pada 2022. Tapi, taipan yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan hingga Rp58 triliun ini sepertinya sudah tidak tertarik di bisnis perbankan.
Sebab, bank adalah bisnis yang sangat padat modal sedangkan profitnya makin terbatas. Net interest margin (NIM) tak setebal dulu. Pada 2017, Bank Mayora masih bisa mencatat NIM sebesar 5,39%, tapi pada 2021 sudah menipis menjadi 3,33%. Menipisnya NIM tersebut sejalan dengan tren NIM industri perbankan yang sebelum pandemi datang pun sudah menurun, dari 5,63% pada 2016, 5,32% pada 2017, 5,14% pada 2018, 4,91% pada 2019, dan 4,51% pada 2021.
Menurut Biro Riset Infobank, laba Bank Mayora selama lima tahun kalau diakumulasi hanya Rp121,17 miliar, sangat kecil jika dibandingkan kebutuhan suntikan modal Rp1,78 triliun agar mencapai modal minimum Rp3 triliun. Return yang diperoleh Bank Mayora masih kalah jauh dibanding Mayora Indah yang bergerak di bisnis pengolahan makanan dan minuman. Rata-rata return return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) Bank Mayora selama lima tahun hanya 0.50% dan 2.35% dengan net interest margin (NIM) sebesar 4,53%. Sedangkan Mayora Indah mampu mencatat ROE dan ROA selama lima tahun rata-rata 22,17% dan 11,16% dengan margin kotor sebesar 27,93%.
Maka, ketika Bank Negara Indonesia (BNI) datang meminang gayung pun langsung bersambut. Jogi Hendra Atmadja mempersilahkan BNI untuk mengakuisisi 63,92% saham Bank Mayora melalui penerbitan saham baru sebanyak 1,02 miliar saham ditambah dengan pengambialihan sebanyak 169,07 juta saham milik IFC. BNI mengeluarkan kocek Rp3,5 triliun untuk menguasai saham Bank Mayora yang secara resmi dilakukan pada Mei 2022.
BNI mengincar dua target dari akuisisi terhadap Bank Mayora. Satu, memanfaatkan ekosistem dan supply chain dari grup Mayora mulai dari 8.600 karyawan hingga jaringan distribusi. Dua, memperkuat bisnis BNI untuk memasuki pasar digital di segmen ritel banking dengan menjadikan Bank Mayora sebagai neobank yang pada tahap berikutnya akan menggandeng Sea Group, perusahaan berbasis teknologi asal Singapura yang sudah mencaplok Bank Kesejahteraan Ekonomi lalu dijadikan Seabank Indonesia. Big tech company yang menjadi induk Shopee ini juga dikabarkan akan masuk ke bank kecil lain seperti Prima Bank, Bank Bumi Arta, dan Bank Capital, serta Bank Aladin.
Masuknya BNI ke Bank Mayora yang akan dijadikan bank digital akan meramaikan pertarungan perbankan digital yang sudah dimasuki raksasa-raksasa teknologi. Selain Sea Group, ada WeLab Ltd asal Hongkong yang mencaplok Bank Jasa Jakarta, Alibaba yang masuk ke Bank Neo Commerce melalui Akulaku Silvrr Indonesia, serta Tencent yang masuk ke Bank Jago melalui Gojek. Bank Jago sendiri sebelumnya bernama Bank Artos yang dibeli oleh Jerry Ng kemudian dijadikan bank digital.
Seperti apa pertarungan bank-bank digital setelah BNI mencaplok Bank Mayora? Setelah berpuluh-puluh tahun menjadi pemain utama dalam kehidupan finansial konsumen, mampukah bank-bank tradisional menahan serbuan bank-bank digital? Bagaimana nasib 52 bank yang modalnya di bawah Rp3 triliun? Dan seperti apa brand-brand terbaik di dunia maYa menurut Survei The Best Digital Brand 2022? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 527 Maret 2022.