Jakarta – Kehadiran GO-JEK di Singapura membuat persaingan ojek online di Asia Tenggara semakin sengit, khusus dengan GRAB.
Namun demikian, perusahaan aplikator GRAB disarankan lebih rasional dalam menghadapi persaingan usaha di Asia Tenggara.
”Kita tahu bahwa dokter dan ekonom sama-sama setuju bahwa gula yang terlalu banyak itu buruk untuk kesehatan bayi, walaupun bisa jadi solusi penenang sementara,” kata kolumnis Bloomberg, Tim Culpan, dalam artikel berjudul “Saran Ekonom dan Dokter untuk GRAB” seperti dikutip dari Bloomberg (29/11).
Gula dimaksud Culpan dalam kutipan di atas adalah insentif. Strategi “bakar uang” yang masih terus dilakukan GRAB di Singapura dan termasuk di Indonesia.
Tulisan Culpan itu merupakan sebuah sindiran tajam terhadap GRAB dari Singapura dengan kata kunci; stop sistem insentif dan bertindak lah yang rasional agar perusahaanmu sehat. Artikel tersebut merangkum pendapat para ekonom tentang keberadaan startup.
”Memang sulit (hampir tidak mungkin) untuk tiba-tiba stop memberikan sejumlah insentif tersebut. Namun, apabila para pendiri startup (GRAB) tersebut mau benar-benar menunjukkan keberanian, mereka seharusnya ambil jalur yang sedikit lebih sulit namun rasional,” sarannya.
Culpan tidak meragukan kemampuan manajemen GrabTaxi Holdings Pte yang dihuni banyak individu pintar. Namun tidak ada salahnya untuk memerhatikan dan mencerna saran para ekonom.
Sebab kesalahan sudah terjadi. Pertama ketika GRAB menaikkan tariff secara tergesa-gesa setelah perusahaan itu mengakuisisi UBER kemudian “mengusir”nya dari Asia Tenggara.
Baca juga: Ini alasan Mitra GRAB di Sejumlah Kota Migrasi ke GO-JEK
Belum juga tinta tandatangan di atas kertas perjanjian akuisisi kering, GRAB langsung memutuskan untuk menghisap uang dari pengemudi dan konsumennya. Hal itu terjadi terutama di Singapura.
Akibatnya, GRAB kena sanksi dari badan pengawas persaingan usaha Singapura yang pada September 2018 menjatuhkan hukuman denda. Sanksi lainnya adalah GRAB diharuskan untuk menghitung ulang cara penentuan tarifnya dan stop melarang driver GRAB untuk bergabung dengan perusahaan transportasi lain.
Kesalahan besar GRAB kedua adalah menerapkan berbagai kebijakan secara besar-besaran padahal UBER baru saja dibeli dan integrasi masih berjalan. Perubahan kebijakan termasuk struktur insentif bagi pengemudi dan customer.
”Ya mungkin ini yang namanya sharing-economy ala GRAB. Geraknya terlalu cepat. Belum juga UBER “dicerna”, sudah banyak kebijakan yang diubah-ubah,” ungkap Culpan.
Hasilnya adalah serangkaian keluhan dari berbagai arah. Keluhan itu sebut saja seperti pendapatan driver yang menurun, tarif konsumen yang lebih tinggi, dan sebagainya.
”Ini tentunya bukan pencapaian positif bagi perusahaan yang baru saja menggelontorkan USD 3 miliar saat akuisisi (setelah akuisisi, UBER juga memiliki 27,5 persen saham Grab)” terusnya.
Kini, GO-JEK asal Indonesia hadir di Singapura. GRAB yang didirikan pria asal Malaysia, Anthony Tan, dan Tan Hooi Ling itu secara natural harus mati-matian memertahankan pangsa pasarnya. Klaim dari GRAB mencapai 80 persen di Singapura.
Kehadiran GO-JEK di Singapura memberikan kesempatan bagi GRAB untuk mengkaji ulang strateginya. ”Seharusnya Grab lebih rasional dalam menentukan insentif driver dan diskon pelanggan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi yang baik sehingga semua pihak dapat diuntungkan, termasuk perusahaan GRAB itu sendiri,” Culpan meneruskan.
Kehilangan pangsa pasar tidak sertamerta buruk untuk GRAB. Secara teoritis, menurunnya pangsa pasar akan menurunkan jumlah permintaan dan berdampak pada meningkatnya tarif.
Peningkatan tarif akan memastikan bahwa driver tetap mau bergabung bersama dengan GRAB. ”Dalam bahasa ekonom, ini yang disebut supply-demand equilibrium yakni keseimbangan permintaan dan ketersediaan layanan,” ucapnya. (*)