Jakarta – Berbagai pihak menyayangkan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai 7 bank yang kurang diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Temuan BPK yang disampaikan ke publik tersebut dikhawatirkan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto pun mengatakan, pengawasan terhadap institusi negara termasuk OJK memang sudah menjadi tugas BPK. Hal ini baik sebagai mekanisme pengawasan agar lembaga negara melaksanakan tugasnya secara optimal.
Namun, Eko menilai BPK seharusnya dapat lebih hati-hati dalam menyampaikan temuannya yang diaudit, sehingga tidak memberikan keresahan di masyarakat. Terutama, di tengah situasi ekonomi yang terdampak penyebaran Covid-19. “Dalam konteks pengawasan ke perbankan, adanya penyebutan nama-nama bank secara langsung memang bisa menimbulkan risiko persepsi keliru di masyarakat,” ujarnya di Jakarta seperti dikutip Jumat, 15 Mei 2020.
Ke depan, dirinya berharap, kedua lembaga baik BPK maupun OJK perlu memperbaiki pola penyampaian hasil pengawasannya ke publik. Hal ini karena umumnya sebelum hasil pengawasan disampaikan, tentunya ada tahap klarifikasi dari BPK ke OJK. Nah, apakah proses-proses klarifikasi ini telah dilakukan dan kemudian lembaga yang diawasi (OJK) tidak memberikan jawaban secara memadai, atau memang belum dilakukan proses klarifikasi ini?
“Klarifikasi untuk sektor perbankan yang sifatnya highly regulated sangat penting. Meskipun setahu saya tidak ada larangan nama individual bank disebutkan. Namun aspek hukumnya tentu sudah dipertimbangkan BPK. Hal yg sama pernah terjadi ketika menyatakan kasus jiwasraya sistemik, padahal biasanya yang mengumumkan sistemik adalah KSSK,” paparnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menyatakan, adanya temuan BPK mengenai 7 bank yang kurang diawasi kurang baik oleh OJK, tentu memiliki dampak tersendiri bagi bank yang disebut namanya oleh BPKm Menurutnya, sejauh ini perilaku nasabah perbankan di Indonesia secara umum cenderung menghindari risiko. Maka dari itu, dirinya mengusulkan agar BPK bisa memberikan rekomendasi kepada 7 bank yang disebut BPK, sehingga lebih seimbang.
“Tentu ada implikasi terhadap bank yang namanya disebut. Perilaku nasabah Indonesia secara umum menghindari risiko. Tapi saya pikir akan lebih seimbang apabila saat itu BPK juga menyuarakan rekomendasi penyelesaiannya atas temuannya itu. Pun itu tentang temuan atas suatu kinerja di masa lalu,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, bahwa kondisi perbankan Indonesia masih cukup aman dan belum krisis. Berdasarkan data OJK, stabilitas sektor jasa keuangan masih cukup terjaga, yang tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) yang masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72% per Maret 2020. Sedangkan untuk risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan juga masih terjaga pada level 2,77%.
“Yang terpenting adalah ketersediaan likuiditas di sektor keuangan nasional, dan kondisi saat ini mencukupi. Tentu hal ini tidak lepas dari peran regulator yang memastikan dan memberi stimulus masif, sehingga likuiditas terjaga. Sebagai gambaran, ekses likuiditas valas di pasar uang masih sekitar USD14 miliaran,” jelas dia.
Adapun, berdasarkan audit BPK yang termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019, disebutkan bahwa ada tujuh bank seperti Bank Muamalat, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Banten, Bank Papua, Bank Mayapada, Bank Yudha Bhakti dan Bank Bukopin, yang dikaitkan dengan kurangnya pengawasan dengan kadar masalah yang berbeda. Pasalnya, kadar permasalahan ada pada kurangnya pengawasan dari OJK sehingga menyebabkan permasalahan di perbankan.
Atas laporan BPK tersebut, Direktur Utama Bank Bukopin pernah menegaskan, bahwa pengawasan tersebut atas laporan per 31 Desember 2017, sehingga tidak mencerminkan kondisi terkini. Transaksi pembelian cessie piutang Bank BTN yang disebut dalam audit BPK juga telah sejak 2019 dinyatakan selesai dan lunas. Corporate Secretary Bank BTN Achmad Chaerul yang ketika itu menjabat mengatakan fasilitas tersebut telah lunas pada 5 Maret 2019. “Secara bisnis, pemberian dua fasilitas perbankan tersebut telah selesai,” kata dia. (*)