Jakarta – PT Bank Syariah Indonesia, Tbk (BSI) mengakui, bahwa digitalisasi membawa risiko baru, seperti serangan siber dan penipuan digital. BSI sendiri sebagai bank BUMN syariah pernah terkena serangan siber, sehingga hampir semua layanan kepada nasabah mengalami kelumpuhan pada 8 Mei 2023.
Direktur Risk Management Grandis Helmi mengatakan, BSI telah mengidentifikasi risiko digitalisasi ini dan mengadopsi pendekatan pertahanan dalam tiga lapisan untuk menghadapinya, yaitu melibatkan unit bisnis, manajemen risiko independen, dan pengawasan oleh dewan komisaris.
Asal tahu saja, pada 8 Mei 2023 silam, BSI mengalami gangguan layanan yang membuat nasabah BSI menjerit. Para nasabah benar-benar tidak bisa melakukan transaksi keuangan selama empat hari. Gangguan layanan ini pun diduga kuat karena serangan siber ransomware.
Baca juga: Belajar dari Kasus Bank Syariah Indonesia (BSI)
BSI pun terus menginisiasi berbagai cara baru untuk terus relevan dalam menghadapi tantangan yang muncul di era digitalisasi. BSI fokus pada aspek manusia untuk menghadapi risiko dan tantangan di era digital untuk tetap relevan di tengah transformasi digital yang cepat dan menjadi bank yang mampu menghadapi risiko baru di era digitalisasi.
Menurutnya, perubahan perilaku masyarakat semakin mengarah ke penggunaan layanan perbankan digital. Hal itu terlihat dalam data internal perseroan yang menunjukkan bahwa pasca pandemi Covid-19, nasabah-nasabah BSI lebih memilih layanan perbankan internet dan aplikasi mobile daripada perbankan konvensional.
“Perkembangan ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi digital akan menjadi alat utama. Untuk menjawab kebutuhan dalam melayani nasabah yang berasal dari berbagai segmen usia, BSI perlu menawarkan beragam produk yang sesuai dengan kebutuhan setiap segmen,” jelas Grandis dalam keterangannya dikutip 29 Oktober 2022.
Dalam mengatasi risiko digital, BSI telah merumuskan kategori serangan dan penipuan yang umum terjadi dan mengembangkan rencana mitigasi yang sesuai. Perseroan menekankan pentingnya faktor manusia dalam menjalankan strategi keamanan digital, dengan memberikan pelatihan dan pemahaman yang cukup kepada karyawan agar dapat menghadapi ancaman yang terus berkembang di dunia digital.
“Seperti dalam kasus skimming di mana korbanlah yang akan mengklik link yang pada akhirnya membawa pada kejadian kejahatan. Oleh karena itu, kita menekankan pada masyarakat bahwa kita perlu mewaspadai keamanan dan digitalisasi,” tutur Grandis.
Baca juga: Bos BRI Ungkap Alasan Divestasi Saham di BSI
Grandis mengatakan bahwa BSI tetap berusaha mempertahankan nilai-nilai syariah sambil menjawab tuntutan teknologi dan keamanan. Di sisi lain, BSI juga mengutamakan inovasi dan ketahanan siber sebagai bagian integral dari pelayanan kepada pelanggan dari semua usia.
Di sisi lain, Gradis juga menyebutkan peluang di era digitalisasi. Sejak berdiri pada 2021, di tengah masa pandemi Covid-19 dan serangkaian lockdown yang terjadi, BSI telah menegaskan dirinya sebagai bank universal yang terbuka, inklusif, dan ramah terhadap semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, ras, atau latar belakang.
Fokus utama BSI, kata Grandis, adalah memaksimalkan teknologi dan digitalisasi untuk mencapai masyarakat yang sebelumnya sulit dijangkau oleh layanan keuangan konvensional. (*)