Jakarta – Kehidupan para petani dan masyarakat di kawasan Towuti, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) terancam oleh perluasan tambang nikel yang dilakukan oleh PT Vale Indonesia. Dampak dari perluasan ini dinilai merugikan dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Ekosistem hutan hujan di Pegunungan Lumereo yang menjadi lokasi Blok Tanamalia, yang akan diperluas oleh Vale, memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar. Selain itu, hutan ini juga merupakan habitat bagi banyak flora dan fauna khas Indonesia.
Semua itu berada dalam ancaman kerusakan atau bahkan hilang akibat perluasan tambang yang sebagian besar sahamnya dipegang oleh perusahaan asal Brasil dan Jepang tersebut.
Berdasarkan riset sementara dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, dari total luas Blok Tanamalia di Pegunungan Lumereo, sebanyak 3.654 hektar telah diidentifikasi sebagai kebun merica petani, terutama di beberapa desa di Kecamatan Towuti. Kebun-kebun tersebut telah ditanami dan dipelihara selama 20 tahun terakhir.
Baca juga: Harga Mati! Pemerintah Harus jadi Pemegang Saham Pengendali Vale
Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial Walhi Sulsel Padli Septian menyatakan, para petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Merica Loeha-Mahalona Raya menentang dengan tegas perluasan pertambangan.
Menurut dia, tanpa kegiatan pertambangan, masyarakat setempat sudah hidup dengan cukup. Oleh karena itu, mereka khawatir dan prihatin dengan eksplorasi tambang yang dapat mengganggu aktivitas mereka secara langsung maupun tidak langsung.
“Sebab kalau dilakukan pertambangan, mereka khawatir dengan dampaknya dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan,” ujar Padli dikutip 18 Juli 2023.
Berdasarkan diskusi dengan petani dan hasil pengamatan langsung di lapangan, fungsi ekologi dari ekosistem hutan hujan di Pegunungan Lumereo sangatlah penting.
Ada puluhan mata air di sana, dan tujuh sungai yang mengalir ke Danau Towuti yang merupakan kawasan konservasi, serta beberapa danau kecil yang menjadi habitat bagi hewan-hewan endemik Sulawesi.
Tak heran warga sekitar Pegunungan Lumereo yakin bahwa tindakan PT Vale dalam Blok Tanamalia akan merusak ekosistem karena melibatkan penghancuran hutan dan penggalian tanah.
Meski ancaman tersebut nyata, namun menurut dia, sampai saat ini belum ada respons dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, begitu pula dari pihak Vale.
“PT Vale tidak melakukan sosialisasi atau konsultasi secara partisipatif kepada pemilik lahan. Padahal, mereka seharusnya melakukan sosialisasi,” jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Energi dan Pertambangan, Kurtubi, menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang sering terjadi di sektor pertambangan disebabkan oleh regulasi yang kurang tepat.
Undang-Undang (UU) tentang mineral dan batubara (minerba) yang berlaku saat ini masih mewarisi sistem konsesi dari masa kolonial. Sistem ini kemudian berubah menjadi izin usaha pertambangan (IUP) atau kontrak karya (KK).
Hal ini menyebabkan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara menjadi tanggung jawab perusahaan swasta atau asing. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya seharusnya dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Kurtubi menambahkan, izin-izin ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang kemudian menjadi peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri.
Baca juga: Jokowi: Divestasi Vale Harus Utamakan Kepentingan Nasional
“Akibatnya, satu wilayah pertambangan dapat memiliki hingga 4 izin IUP yang tumpang tindih. Hal ini terjadi dalam 20.000 izin usaha. Faktanya demikian,” jelasnya.
Oleh karena itu, Kurtubi menyarankan agar pengelolaan sumber daya mineral seperti yang diterapkan dalam sektor minyak dan gas (migas). Pemerintah harus mengambil alih PT Vale dan membentuk perusahaan negara seperti Pertamina, yang bertugas mengelola migas, dan didukung oleh undang-undang.
Menurut dia, pola seperti itu harus diadopsi. Pemerintah perlu membentuk perusahaan untuk mengelola sektor nikel. Investor yang ingin menanamkan modal dapat bekerja sama dengan perusahaan negara tersebut.
“Kesalahan besar jika pertambangan dibiarkan berlanjut seperti sekarang, di mana aspek lingkungan tidak diperhatikan, masyarakat sekitar menderita, lapangan kerja ditentukan oleh investor, dan ekspor dilakukan tanpa beban pajak. Hal itu tidak boleh terjadi. Kita harus menjadi negara maju,” terangnya. (*)