Jakarta – Keputusan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menggunakan lahan baku sawah versi lama seluas 8,1 juta hektare untuk penentuan anggaran subsidi pupuk dinilai tidak tepat. Pasalnya, perbedaan luas lahan baku sawah yang berkisar 1 juta hektare tersebut dipandang sangat berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Mantan Menteri Pertanian, Anton Apriyantono dalam keterangannya yang dikutip, di Jakarta, Jumat, 25 Januari 2019. Menurutnya, hitungan itu jauh lebih besar dari hasil penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS) dan lembaga terkait, bahwa lahan baku sawah pada 2018 kemarin hanya 7,1 juta hektare.
“Kalau seperti itu kan pemborosan dan juga nanti ada peluang untuk penyelewengan. Jadi, luasnya dibesar-besarkan karena anggarannya besar,” ujarnya.
Untuk diketahui, tahun ini Kementan meminta anggaran subsidi pupuk sebesar Rp29,5 triliun atau setara dengan 9,55 juta ton pupuk. Nilai subsidi pupuk ini naik 3,51 persen dibandingkan anggaran pada tahun sebelumnya yang berada di agka Rp28,5 triliun.
Terkait hal ini, Anton melihat keputusan Kementan untuk menggunakan data luas lahan baku sawah versi lama dalam penentuan subsidi pupuk tidak selaras dengan komitmen negara untuk menghemat anggaran. Pasalnya, subsidi pupuk dihitung per hektare sehingga dengan penambahan luas lahan baku sawah akan membuat anggarannya membengkak.
“Kita kan harusnya menghemat anggaran untuk sesuatu yang lebih penting,” tukasnya.
Menurut Anton, saat ini luasan lahan baku sawah versi BPS sendiri sudah dianggap tepat.
Permintaan Kementan agar BPS menghitung ulang luas lahan baku sawah pun dirasa tidak akan mengubah hasil berkurang banyaknya lahan pertanian. Justru dengan penghitungan ulang luas lahan baku sawah, besarannya diyakini malah makin menyusut.
Sementara itu, Mantan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih di kesempatan berbeda juga mengamini, bahwa data luas lahan sawah memang sejak dulu jadi masalah karena perbedaan persepsi. Padahal, data itu penting untuk menjadi landasan untuk kebijakan dan anggaran.
“Sebenarnya tidak ada prevalensi benar salah. Tidak bisa dikatakan data BPS paling benar, data BPN paling benar, atau data Kementan paling benar, karena tidak pernah dibuka secara jelas ke publik soal definisi dan metodologi pengumpulan datanya,” paparnya.
Menurutnya, saat dirinya menjadi Menteri, ia juga merasakan data yang digunakan selalu over estimate, atau dibesarkan. “Kalau saya dulu, daripada mengumpulkan data dan makan waktu, kita kerja dulu, waktu itu pakai data yang tersedia, merumuskan kebijakan dengan data harga, karena data harga lebih akurat dan bisa dipercaya daripada data fisik, semisal area tanam dan area produktif,” tuturnya.
Untuk itu ia berharap BPS, BPN, dan Kementan bisa duduk bersama merumuskan data-data ini dan membukanya ke publik, dan melibatkan akademisi. Dirinya mengakui, area tanam di Indonesia terus berubah, terutama terkait konversi lahan tanam.
“Jangankan dibandingkan 1990an, dibanding tahun 2000-an saja sudah jauh berbeda. Jadi semua informasi terkait luasan pertanian, harus dicek ricek lagi dengan tentunya keterbukaan definisi dan metodologi, sehingga masalah data bisa selesai,” jelasnya.
Pihak terkait, Badan Pusat Statistik menyatakan, meskipun belum terverifikasi semua, total luas lahan baku sawah terbaru pada 2018 kemarin sudah menunjukkan hampir keseluruhan data. Dikarenakan 14 provinsi yang telah terverifikasi memiliki sekitar 86 persen dari total luasan lahan baku sawah yang dihitung.
“Sisanya yang 16 provinsi itu bukan sentra produksi padi. Itu kan kayak adanya di timur Indonesia, terus beberapa di Sulawesi, terus di Kalimantan. Provinsi-provinsi itu bukan sentra produksi,” ujar Kepala Subdirektorat Statistik Tanaman Pangan BPS, Kadarmanto. (*)