Jakarta – Tahun ini, perekonomian Indonesia diprediksi akan mengalami banyak tantangan. Hal tersebut diperoleh dari riset yang diumumkan oleh DBS Group Research tentang perekonomian Indonesia, Senin (14/05).
Data riset menunjukan, perekonomian Indonesia mulai stabil dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga mengalami banyak tantangan untuk tahun ini.
Bila dibandingkan dengan 2013, ketika inflasi berada di batas atas kisaran target dan defisit neraca berjalan hampir dua kali lipat, profil pertumbuhan inflasi saat ini lebih menguntungkan.
Pertumbuhan PDB lebih lambat tetapi stabil di sekitar 5%, dengan tren tahun ini, yaitu mendapatkan bantuan dari investasi yang lebih besar dan meningkatnya pengeluaran sebelum Pemilu, pada akhirnya, melakukan pembatasan dalam mengeluarkan dana.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) rata-rata aman di 3,6% YoY di 1Q18, mencapai target 2,5-4,5%. Akumulasi cadangan devisa telah menjadi prioritas, diperbaiki menjadi USD129 milyar pada Maret 2018 dari USD98 milyar pada tahun 2013.
Bank DBS FX & Rates Strategist – ASEAN, Duncan Tan, mengatakan bahwa, terlepas dari kestabilan tersebut, ekonomi menghadapi berbagai tantangan. Seperti harga minyak tinggi, mata uang dolar AS menguat, dan kenaikan tajam pada suku bunga AS.
Baca juga: Fluktuasi Global Meningkat, CIMB Proyeksi Ekonomi RI tumbuh 5,2 Persen
“Ini membawa implikasi negatif bagi posisi neraca pembayaran ekonomi (BOP), fiskal, inflasi, persyaratan pembiayaan, dan arah kebijakan,” ujarnya dalam keterangan, Senin (14/05).
Secara kumulatif, faktor-faktor ini menimbulkan tantangan yang tinggi pada pasar domestik tahun ini. Dengan Pemilu semakin dekat, Bank Indonesia (BI) akan diminta untuk bertindak proaktif untuk mengendalikan dan menstabilkan mata uang.
Menurut Bank DBS Economist – Eurozone & India, Radhika Rao, pejabat bank sentral telah mengisyaratkan kesiapan mereka untuk membeli obligasi dari pasar sekunder untuk menstabilkan pasar, jika diperlukan. Partisipan dominan, investor asing, telah menjadi net sellers untuk bulan kedua berturut-turut pada bulan April.
“Jika suku bunga AS makin naik, ditambah dengan mata uang dolar AS yang menguat, cadangan dalam isolasi mungkin tidak cukup untuk mengendalikan dan menstabilkan mata uang. Kebijakan mengendalikan risiko, dengan demikian tetap bisa didiskusikan,” ujar Radhika.
Ia menambahkan, BI cenderung lebih fokus pada stabilitas keuangan daripada risiko inflasi, meningkatkan risiko bahwa kenaikan suku bunga mungkin dibawa ke depan ke 2Q18. Bersamaan dengan itu, pihak berwajib juga perlu mempertimbangkan keputusan yang sulit secara politis meningkatkan daya dan harga bahan bakar untuk mengurangi tekanan pada buku fiskal, mendorong investasi, dan memastikan sesuai dengan agenda reformasi yang telah ditetapkan. (Ayu Utami Saraswati)