Oleh Ryan Kiryanto
DALAM terbitan Bloomberg New Economy edisi 31 Desember 2022 berjudul “The Year of Great Competition” diungkap bahwa potensi persaingan atau rivalitas kembali mengemuka di 2023 ini. Rivalitas besar antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok – yang baru meningkat pada 2022 lalu – kemungkinan akan menjadi tema paling penting dalam beberapa dekade mendatang.
Setelah sempat mengalami “perang dingin” pada 2019 lalu, relasi AS dan Tiongkok sejatinya mulai tampak membaik, di mana pada era Presiden AS, Joe Biden, terlihat ada upaya untuk menyudahi “perang tarif” di antara kedua negara. Sebab, perang tarif hanya memperburuk keadaan ekonomi mereka.
Sinyal kuat “rekonsiliasi ekonomi” AS dan Tongkok terekspose melalui komunikasi langsung secara intensif di antara pemimpin tertinggi kedua negara, Joe Biden dan Xi Jinping, di sela-sela pertemuan puncak para pemimpin G20 pada November lalu di Bali, Indonesia. Pada prinsipnya, kedua kepala negara sepakat untuk membangun kembali relasi ekonomi yang lebih baik dan konstruktif untuk keduanya, bahkan untuk dunia.
Di tengah perlambatan ekonomi kedua negara adidaya ekonomi tersebut di 2022 lalu, menyeruak India sebagai pemimpin kelompok 20 di tahun mendatang, dengan pertumbuhan ekonomi berkisar 6%-7% untuk 2022 dan 2023 ini. India diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru setelah AS, Tiongkok, Jepang, dan Jerman. Tentu laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) India yang “di atas rata-rata” pertumbuhan ekonomi dunia dan Asia itu menjadi daya tarik bagi negara-negara lain untuk mendekati India. Tak terkecuali AS dan Tiongkok.
Pemerintah AS sedang berusaha keras untuk menahan ekonominya agar tidak jatuh ke lembah resesi. Di lain pihak, pemerintah Tiongkok sedang berjuang keras mendongkrak ekonominya melalui pelonggaran kebijakan nol COVID-nya.
Dari sisi kebijakan moneter, bank sentral AS, The Fed, cenderung mengambil kebijakan yang ketat dengan menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) hingga saat ini menyentuh 4,25%-4,50%. The Fed diperkirakan masih akan menaikkan FFR sebesar 75 basis points (bps) hingga Maret 2023 ini menjadi 5,0%-5,25% untuk secepatnya melandaikan inflasi ke level sasaran yang 2%.
Belakangan muncul analisis baru bahwa langkah The Fed yang hawkish itu justru mempercepat kejatuhan ekonomi AS ke jurang resesi pada tahun ini, meskipun tidak terlalu dalam. Masalahnya, tidak ada opsi kebijakan yang tepat untuk bisa secepatnya menurunkan laju inflasi yang sempat menyentuh 9,1% di Juni 2022 lalu, tertinggi sejak November 1981.
Kini kecemasan semakin mencekam, lantaran ada berbagai tanda yang menunjukkan resesi global sedang dalam perjalanan. Jadi, hanya soal waktu kapan resesi global terjadi, tepatnya adalah resesi di negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa karena sebuah pilihan kebijakan yang dilematis terpaksa harus diambil.
Sementara, bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China (PBoC), tetap mempertahankan suku bunga acuan pinjaman selama empat bulan berturut-turut sesuai ekspektasi pasar. Suku bunga dasar pinjaman (loan prime rate/LPR) satu tahun dipertahankan pada 3,65%, sedangkan LPR lima tahun tidak berubah pada 4,30%.
Hasil jajak pendapat dari kalangan ekonom, analis, dan pelaku pasar, mereka mengekspektasikan pelonggaran kebijakan moneter berlanjut. Hanya saja, diyakini ekonomi Tiongkok tidak akan sampai jatuh ke zona resesi karena pelonggaran kebijakan protokol kesehatan mendorong aktivitas manufaktur dan konsumen domestik.
Perubahan Haluan Kebijakan
Pada Oktober tahun lalu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) merilis prospek ekonomi tahunannya yang memproyeksikan pertumbuhan yang lemah di seluruh dunia pada 2023. Ini menempatkan penekanan khusus pada tiga masalah, yaitu (1) inflasi tinggi dan pengetatan kebijakan bank-bank sentral negara utama, (2) invasi militer Rusia ke Ukraina, dan (3) efek berkelanjutan dari pandemi COVID-19 – terutama di Tiongkok.
Saat ini persoalan pertama dan kedua sedang dalam penyelesaian, apa pun hasilnya. Sementara, persoalan ketiga, memberikan hasil yang menggembirakan, kecuali untuk Tiongkok yang dinilai “terlalu kaku” melakukan penyesuaian kebijakan pelonggaran protokol kesehatan. Kini, setelah kebijakan penguncian untuk kebijakan non COVID-19 dilonggarkan, muncul sinar terang bahwa ekonomi Tiongkok akan segera kembali pulih.
Dengan keyakinan cepat atau lambat ekonomi Tiongkok akan bangkit menuju kondisi seperti sebelum pandemi COVID-19, upaya memperbaiki hubungan diplomatik mulai diaktifkan lagi oleh pemerintahan Joe Biden. Pada saat yang sama, pemerintahan Xi Jinping juga membuka pintu lebih lebar untuk menguatkan relasi dengan negara-negara Eropa.
Bagi Tiongkok, kawasan Eropa merupakan pasar ekspor yang prospektif, juga merupakan destinasi investasi yang menjanjikan. Kunjungan Kanselir Olaf Scholz ke Tiongkok baru-baru ini (bersama dengan rombongan para pemimpin bisnis Jerman) menyoroti bagaimana ekonomi Eropa terbesar di Eropa ini menaruh atensi besar kepada negara dengan populasi terbesar di dunia ini.
Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, bahkan mengatakan kepada Xi Jinping pada November lalu bahwa dia menginginkan hubungan perdagangan yang lebih dalam dengan Tiongkok. Kepada Scholz, dengan piawai Xi Jinping berdiplomasi bahwa dia menentang penggunaan kekuatan nuklir di Eropa dan dia ingin melihat pembicaraan untuk mengakhiri perang.
Perbaikan relasi AS dan Tiongkok, berlanjut relasi Eropa dan Tiongkok, menjadi kabar baik untuk 2023 ini di tengah pergumulan bagaimana segera mengakhiri perang di Ukraina. Awal 2023 ini, pemerintah Tiongkok menawarkan pengharapan baru ketika secara resmi mengumumkan berakhirnya persyaratan karantina untuk pelancong masuk pada 8 Januari, sekaligus mengakhiri kebijakan nol-COVID yang telah diterapkan selama hampir tiga tahun.
Potensi pembukaan kembali secara penuh ekonomi Tiongkok adalah hal “positif terbesar” yang dapat diharapkan oleh dunia pada 2023 ini. Hal ini akan menstimulasi perbaikan ekonomi negara-negara lain yang memiliki relasi kuat dengan Tiongkok, termasuk Indonesia. Karena, pulihnya konsumsi swasta domestik dapat membawa ekonomi Tiongkok ke pertumbuhan yang relatif lebih baik, berkisar 5% pada 2023. Ini merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan perkiraan yang hanya 3,2% untuk 2022 lalu, yang merupakan penurunan tajam relatif terhadap pertumbuhan rata-rata selama dekade terakhir.
Dengan demikian, pemulihan ekonomi Tiongkok di tahun ini akan menjadi magnit bagi ekonomi negara-negara lain, di tengah relasi ekonomi Tiongkok dan AS yang sempat naik-turun. Dan juga di tengah membaiknya relasi Tiongkok dan Uni Eropa meskipun dibayang-bayangi oleh aksi militer Rusia menyerbu Ukraina sejak Februari tahun lalu.
Paralel dengan itu, muncul kekuatan ekonomi baru, yakni India, yang dalam dua tahun terakhir mampu tumbuh di kisaran 6%-7% setelah pemerintah India berhasil mengendalikan pandemi COVID-19. Kini India memiliki posisi tawar yang tinggi di antara negara-negara maju dan berkembang di seluruh dunia, baik sebagai pasar maupun destinasi investasi asing langsung.
Ekonomi Indonesia yang Stabil
Ketika di 2022 lalu perekonomian negara-negara maju di AS dan Eropa serta ekonomi Tiongkok mengalami penurunan, ekonomi Indonesia menunjukkan kinerja yang tetap baik. Secara tahunan PDB Indonesia diperkirakan tumbuh berkisar 5,2%-5,3% untuk 2022 lalu, mengingat sejak kuartal keempat 2021 hingga kuartal ketiga 2022 lalu, PDB Indonesia tumbuh rata-rata di atas 5%. Bahkan, untuk kuartal ketiga 2022 tumbuh tertinggi, yakni 5,72% secara tahunan.
Permintaan domestik yang tetap kuat dipengaruhi oleh terjaganya daya beli masyarakat dan keyakinan pelaku ekonomi. Perkembangan ini tecermin pada berbagai indikator makro-ekonomi yang terjaga dengan baik setidaknya hingga November 2022 lalu. Hal itu diperkuat hasil survei Bank Indonesia (BI) terakhir yang menunjukkan peningkatan, seperti indeks keyakinan konsumen, indeks penjualan eceran, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur, yang kesemuanya mengindikasikan adanya ekspansi usaha.
Sementara itu, kinerja ekspor diperkirakan tetap kuat, khususnya didorong ekspor batu bara, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), besi dan baja, serta ekspor jasa, seiring permintaan beberapa mitra dagang utama yang masih kuat dan juga dampak positif kebijakan pemerintah Indonesia. Untuk ekspor, kinerja positifnya terutama didorong oleh provinsi di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), yang tetap tumbuh kuat.
Pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga baik sejalan dengan perkembangan dari sisi lapangan usaha, dalam hal ini sektor primer dan sekunder, yaitu Perdagangan Besar dan Eceran, Industri Pengolahan, serta Transportasi dan Pergudangan tumbuh cukup kuat. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 diperkirakan berkisar 4,8%-5,1% sejalan dengan perlambatan ekonomi global.
Outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi dan stabil itu didukung oleh bauran kebijakan moneter dan fiskal yang terukur dan pro pertumbuhan. Untuk kebijakan moneter yang arahnya cenderung melonggarkan pengetatan seiring dengan terkendalinya inflasi menuju level sasaran yang 3%, BI juga melakukan penguatan melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif, inklusif, dan berkelanjutan. Ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan, terutama ke sektor-sektor ekonomi prioritas yang belum pulih seperti sebelum masa pandemi, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan kredit/pembiayaan hijau.
Secara khusus, BI juga mendukung pemulihan ekonomi melalui penyempurnaan ketentuan insentif giro wajib minimum (GWM) yang berlaku mulai 1 April 2023, yang mencakup beberapa beleid. Pertama, mereklasifikasi 46 subsektor prioritas tiga kelompok sektor usaha, yaitu kelompok berdaya tahan (Resilience), kelompok penggerak pertumbuhan (Growth Driver), dan kelompok penopang pemulihan (Slow Starter), sesuai kondisi terkini dengan mempertahankan threshold pertumbuhan kredit/pembiayaan yang mendapatkan insentif untuk Slow Starter tetap minimal 1%, serta meningkatkan threshold untuk kelompok Resilience dan Growth Driver dari semula minimal 1% menjadi masing-masing minimal 5% dan 3%.
Kedua, meningkatkan dua kali lipat besaran insentif GWM kepada bank penyalur KUR dan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi paling besar 1% disertai dengan penambahan kelompok bank berdasarkan pencapaian Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), yaitu di atas 30%-50%, dan di atas 50%.
Ketiga, memberikan insentif terhadap penyaluran kredit/pembiayaan hijau yaitu kredit/pembiayaan properti dan/atau kendaraan bermotor berwawasan lingkungan paling besar 0,3%. Peningkatan besaran total insentif GWM yang dapat diterima bank dari sebelumnya paling besar 200 bps menjadi paling besar 280 bps.
Didukung kebijakan fiskal dengan total volume belanja pemerintah lebih dari Rp3.000 triliun yang tetap ekspansif sekaligus berperan sebagai shock absorber, wajar jika Indonesia memasuki 2023 dengan penuh optimisme disertai kewaspadaan tinggi sebagai sikap yang baik, benar, dan bertanggung jawab.
Kekuatan konsumsi domestik didukung investasi langsung yang meningkat serta konsumsi pemerintah yang berperan strategis sebagai shockbreaker perekonomian nasional akan menopang ketahanan ekonomi Indonesia di 2023 ini. Apalagi jika ekspor juga masih tetap tumbuh positif, meskipun mungkin tidak setinggi di 2021 dan 2022, tentu akan lebih baik lagi. Alhasil, perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 sebesar 4,8%-5,1% cukup wajar dan logis, melanjutkan capaian 2022 lalu yang berkisar 5,2%-5,3%.
*) Penulis adalah Ekonom, Anggota Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital/ISED, dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI