Jakarta–Perekonomian Indonesia pada 2016 diperkirakan akan semakin baik jika dibandingkan dengan 2015 lalu. Komisi XI DPR-RI merasa optimis perekonomian akan membaik lantaran mulai stabilnya kondisi perekonomian global dan regional.
Pernyataan tersebut seperti disampaikan Anggota Komisi XI DPR-RI Mukhamad Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 5 Januari 2016. Menurutnya, perekonomian nasional di 2015 yang sempat dipediksikan sangat anjlok, ternyata tak seburuk seperti yang diperkirakan.
“Capaian kondisi ekonomi nasionalnya bagus karena Presiden Jokowi mempunyai Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang mau bekerja keras untuk menjalankan setiap detil perintah Presiden dengan penuh tanggung jawab,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dirinya meyakini bahwa perekonomian Indonesia pada 2016 ini akan lebih memberikan harapan, karena sudah terjadi stabilisasi ekonomi nasional setelah terkena imbas pelambatan ekonomi global dan regional.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu juga meyakini, target pertumbuhan ekonomi 2016 yang berada di kisaran 5%-5,5% dapat dicapai. Terlebih, pemerintah di tengah memburuknya perekonomian 2015 lalu masih mampu menahan angka pertumbuhan di angka 4,7%-4,85%.
Lebih lanjut Misbakhun mennambahkan, kondisi perekonomian 2015 justru lebih baik ketimbang 2014. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang mampu berada di kisaran 4,7%-4,8% pada 2015 dengan tingkat inflasi yang hanya 3,35%.
“Ini justru setara dengan pertumbuhan sebesar 7% karena pertumbuhan yang dicapai di tahun 2015 tidak digerus oleh besaran laju inflasi. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2014 yang mencapai 5% tapi laju inflasinya sebesar 8,8%. Akibatnya inflasi 2014 menggerogoti laju pertumbuhan ekonomi,” tukasnya.
Dia mengatakan, bahwa dari sisi kebijakan moneter, pada tahun 2016 ini sudah ada kepastian tentang tingkat suku bunga di Amerika Serikat. Maka dengan demikian, lanjutnya, kondisi perekonomian secara global bisa memberikan ketenangan pada gejolak di pasar uang dan pasar modal.
Dia menilai, kondisi tersebut tentu akan membuat nilai tukar rupiah lebih stabil. “Sehingga volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap US$ lebih bisa dijaga pada kisaran yang direncakanan di APBN 2016 sebesar Rp13.900 setiap US$,” tuturnya.
Namun, dia juga mewanti-wanti soal kendala yang masih menghadang pada 2016. Di antaranya adalah menurunnya nilai ekspor Indonesia baik dari komoditas, mineral ataupun migas. Selain itu, harga komoditas minyak sawit (crude palm oil/CPO) dan karet yang jatuh masih menjadi masalah sehingga mempengaruhi nilai ekspor dan jumlah cadangan devisa kita.
“Hal yang sama terjadi pada ekspor hasil mineral kita karena pembangunan smelter belum memberikan dampak signifikan pada sumbangan nilai ekspor karena masih dalam proses pembangunan,” paparnya.
Namun, pemerintah diharap bisa mengatasinya dengan memperkuat perekonomian domestik. Menurutnya, Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 255 juta jiwa memiliki potensi besar dari sisi daya beli dan konsumsi.
“Potensi ini harus bisa dikelola dengan baik. Kemudahan investasi baru harus dipermudah sehingga banyak tercipta lapangan kerja baru,” tambahnya.
Selain itu, dibutuhkan pula sinkronisasi kebijakan sektor fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan sektor riil. Caranya, pemerintah bisa mendorongnya melalui realisasi pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok tanah air. “Sehingga secara regional lahir daerah dan kawasan pertumbuhan ekonomi baru yang akan memberikan kontribusi secara agregat pada pertumbuhan ekonomi nasional,” ucapnya.
Sebelumnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis data realisasi atas sejumlah proyeksi dalam APBN Perubahan (APBNP) 2015. Berdasarkan keterangan tertulis Kemenkeu, pertumbuhan ekonomi 2015 diperkirakan mencapai 4,73%, atau lebih rendah dari asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBNP 2015 sebesar 5,7%
Sedangkan tingkat inflasi diperkirakan hanya 3,1% atau lebih rendah dari asumsi inflasi yang digunakan dalam APBNP tahun 2015 sebesar 5%. Rendahnya laju inflasi terutama disebabkan terjaganya pasokan barang kebutuhan pokok masyarakat seiring peningkatan produksi pangan dan jalur distribusi, ekspektasi inflasi yang menurun, serta perubahan skema subsidi energi. (*) Rezkiana Nisaputra