Perdagangan dan Reparasi Masuk Top 5 Investasi RI untuk Pertama Kalinya

Perdagangan dan Reparasi Masuk Top 5 Investasi RI untuk Pertama Kalinya

Jakarta – Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa realisasi investasi Indonesia pada triwulan II 2025 mencapai Rp477,7 triliun, naik 2,7 persen dari triwulan sebelumnya.

Dengan total investasi sepanjang semester pertama tahun ini sebesar Rp942,9 triliun, Indonesia telah mencapai hampir 50 persen dari target tahunan sebesar Rp1.905,6 triliun.

Capaian ini tentu memberikan sinyal positif di tengah ketidakpastian global, sekaligus memperkuat arah pencapaian target investasi nasional sebesar Rp13.000 triliun dalam lima tahun ke depan, sebagaimana ditetapkan oleh Bappenas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi menuju 8 persen per tahun.

Research Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), Gundy Cahyadi mengatakan, data ini menunjukkan keyakinan investor terhadap prospek jangka panjang ekonomi Indonesia.

“Di tengah dinamika global yang menantang, fakta bahwa Indonesia mampu mempertahankan arus investasi ini mencerminkan keyakinan investor terhadap prospek jangka panjang ekonomi kita,” ujar Gundy, dikutip dari keterangan resmi, Selasa, 5 Agustus 2025.

Baca juga: Realisasi Investasi Tembus Rp477,7 Triliun di Kuartal II 2025

Secara sektoral, industri logam dasar menjadi penyumbang terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp67,1 triliun atau 14,1 persen dari total, terutama berkat keberlanjutan kebijakan hilirisasi mineral.

Sektor pertambangan juga mengalami peningkatan signifikan dengan total Rp53,6 triliun, didorong oleh permintaan global terhadap nikel dan mineral strategis lainnya.

Sementara itu, sektor transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi tercatat turun menjadi Rp44,2 triliun.

Menariknya, sektor perdagangan dan reparasi untuk pertama kalinya masuk dalam lima besar penerima investasi dengan capaian Rp40 triliun.

Bagi Gundy, ini memperlihatkan transformasi struktur ekonomi nasional yang terus berlangsung.

“Hilirisasi tetap menjadi magnet utama, namun munculnya sektor-sektor baru seperti perdagangan menunjukkan dinamika positif di lapangan,” imbuhnya.

Baca juga: Menkeu: Tindak Tegas PMA Nakal

Meski secara total investasi meningkat, Penanaman Modal Asing (PMA) justru mengalami kontraksi 6,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

PMA pada triwulan II tercatat sebesar Rp202 triliun atau 42,3 persen dari total investasi langsung.

Ini menjadikannya penurunan tahunan pertama sejak triwulan III 2021, yang mencerminkan meningkatnya kehati-hatian investor global akibat ketidakpastian eksternal, termasuk potensi keberlanjutan kebijakan tarif era Trump di Amerika Serikat.

Meski begitu, proyeksi PMA tahun ini masih optimistis mengarah pada angka Rp900 triliun, atau lebih dari dua kali lipat rata-rata tahunan pra-pandemi.

Sekali lagi, memperlihatkan sikap investor yang bersikap lebih hati-hati dalam jangka pendek, tetapi tetap melihat Indonesia sebagai destinasi strategis. Yang mana, fundamental ekonomi dan arah kebijakan struktural nasional menjadi daya tariknya.

Investasi Ketenagakerjaan

Dari sisi ketenagakerjaan, investasi pada triwulan ini menciptakan 665.764 lapangan kerja baru, naik 12 persen dibandingkan triwulan pertama. Hampir separuh di antaranya tercipta di luar Pulau Jawa, mencerminkan kemajuan dalam agenda pemerataan pembangunan.

“Namun, tantangan struktural masih perlu diwaspadai. Pekerjaan formal masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan, belum mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai 3,5 hingga 4 juta orang per tahun. Keterbatasan perlindungan sosial di sektor informal juga mempersempit pilihan kerja dan memperbesar ketimpangan,” tegas Gundy.

Gundy turut menekankan pentingnya memperhatikan risiko jangka menengah, seperti otomatisasi. Mengingat, sekitar 30 persen pekerjaan di sektor manufaktur dan pertanian berisiko tergantikan otomatisasi dalam 10 sampai 20 tahun ke depan.

“Di saat yang sama, 22 sampai 23 persen anak muda Indonesia tidak sedang bekerja, sekolah, maupun menjalani pelatihan. Ini adalah peringatan serius bagi agenda pembangunan kita,” Gundy mengingatkan.

Baca juga: PMA Bakal Dorong Penguatan Rupiah

Menurut Gundy, Indonesia tidak kekurangan modal, namun perlu memastikan investasi mengalir ke sektor-sektor yang mampu menciptakan pertumbuhan berkualitas dan lapangan kerja yang tangguh serta inklusif.

“Kita sudah memiliki momentum dan dasar yang kuat. Yang dibutuhkan sekarang adalah kombinasi kebijakan yang tepat—penguatan SDM, kepastian hukum bagi investor, dan pemerataan pembangunan antarwilayah. Fondasinya sudah ada. Tinggal bagaimana kita membangunnya dengan benar,” tutupnya. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62