Selama ini perbankan syariah mendapat banyak kemudahan, salah satunya ialah adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang bunga bank riba. Pada tahun-tahun awal, yaitu 2006, perbankan syariah tumbuh melesat meninggalkan perbankan konvensional. Namun, lima tahun terakhir ini perbankan syariah justru terasa berat. Banyak bank syariah yang harus melakukan restrukturisasi pembiayaan.
Bahkan, kalau mau jujur, ada bank syariah yang sakit parah dan seperti dibiarkan hidup tanpa suntikan modal dari pemiliknya. Jadi, ada semacam trauma atau ketakutan jika memasukkan perbankan syariah ke ICU sepertinya tidak memihak kaum muslim. Padahal, harusnya tidak harus melihat persoalan bank syariah dari kacamata politik agama.
Sudah waktunya regulator, ulama, pengamat, dan legislator melihat persoalan bank syariah seperti melihat persoalan bank konvensional. Ini hanya menyangkut sistem perbankan semata dan tidak melulu dikaitkan dengan gerakan umat Islam.
Artinya, jika memang tidak berkinerja baik, yang selayaknya perlu dikakukan ialah langkah-langkah perbaikan, termasuk melakukan fit and proper test ulang terhadap pengurus. Bahkan, kalau toh sudah sangat parah dan tidak ada pemegang saham yang melakukan penambahan modal, kalau memang terpaksa ditutup ya ditutup. Jangan lagi menutup bank syariah sebagai langkah tidak pro terhadap umat Islam.
Jangan sampai membiarkan bank syariah yang berkinerja buruk dinilai sebagai langkah keperpihakan. Jika hal ini dilakukan, para pengurus dan pejabat perbankan syariah akan tidak hati-hati—karena dibenaknya mau ugal-ugalan pun tidak akan di-punish sehingga menyebabkan banknya ditutup. (Bersambung ke halaman berikutnya)