Perbankan Syariah: Kinerja yang Buruk karena Tata Kelola

Perbankan Syariah: Kinerja yang Buruk karena Tata Kelola

Oleh: Eko B Supriyanto

PERKEMBANGAN perbankan syariah saat ini memang masih jauh dari harapan. Pasar yang besar, jika melihat penduduk muslim yang merupakan terbesar di dunia, tak menjamin laju perkembangan perbankan syariah cepat. Bahkan, kinerja keuangan bank syariah tak sekinclong bank konvensional. Jujur saja masalah governance atau tata kelola di bank syariah masih harus terus ditingkatkan, selain keandalan SDM syariah yang sering menjadi soal.

Selama ini cita-cita untuk meraih market share di atas 5% memang sudah terpenuhi. Itu pun karena ada konversi bank umum konvensional menjadi syariah. Bukan karena organic growth, melainkan karena adanya konversi Bank BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah dan sebentar lagi Bank NTB. Saat ini market share perbankan syariah sudah mencapai 8,26%.

Penetrasi pasar perbankan syariah memang sudah sedikit membesar, tapi apakah secara kualitas sudah menunjukkan perbaikan? Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), kinerja perbankan syariah tak kunjung membaik sejak 2012. Kejatuhan harga komoditas dan mineral juga menyebabkan perbankan syariah harus bergelut dengan pembiayaan bermasalah.

Lihat saja return on asset (ROA) perbankan syariah yang terus menurun. Pada 2012 ROA perbankan syariah masih bertengger di 2,14%, setahun berikutnya menurun dan terus menurun hingga puncaknya terjadi pada 2014 dengan ROA 0,79%. Pada 2017 ROA perbankan syariah sebesar 1,17%. Secara kualitas, perbankan syariah belum membaik. Soal pembiayaan bermasalah masih menjadi pekerjaan rumah.

Potensi berkembangnya perbankan syariah di Indonesia memang relatif besar. Penduduk yang beragama Islam di Indonesia adalah mayoritas—dengan dukungan kebijakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa bunga bank riba. Namun, toh perkembangan perbankan syariah tidak fantastis dari sisi kualitas.

Indonesia hanya mampu berada di urutan kesembilan dari 10 negara Islam lainnya, dari sisi aset industri jasa keuangan syariah. Ada kelemahan yang memicu perbankan syariah Indonesia lambat berkembang. Perbankan syariah saat ini hanya memfokuskan pada fungsi sebagai bank komersial biasa, tidak memaksimalkan fungsi sebagai bank investasi.

Bahkan, bisa disebut orientasi bank syariah berjangka pendek, yaitu menyalurkan pembiayaan konsumtif jangka pendek. Sebenarnya, hal ini tidak keliru karena memang ada sisi kompetensi yang kurang memadai jika bergerak pada pembiayaan investasi. Harusnya ini yang membedakan perbankan syariah dan konvensional.

Bahan baku bankir perbankan syariah bersumber dari bank konvensional. Hal ini tidak menjadi masalah yang serius karena usia perbankan syariah sudah mendekati tiga dekade—seharusnya masalah kompetensi tidak jadi soal. Kenyataannya, pada 2012 kinerja bank syariah merosot dan sampai dengan saat ini sulit untuk bangun.

Produk-produk yang ditawarkan bank syariah pun tidak beragam. Service level masih kalah jauh dibandingkan dengan bank konvensional. Jadi, ketentuan wajib konversi bank syariah pada dua tahun mendatang pun menjadi sangat berat bagi usaha unit syariah (UUS)—karena harus ada investasi sendiri dalam pengembangan usaha ke depannya.

Selain orientasi dan kompetensi bankir syariah dalam mengembangkan syariah, menurut majalah ini, ada masalah integritas dalam pengelolaan masa lalu. Ada masalah tata kelola dalam pengelolaan perbankan syariah. Pembiayaan bermasalah syariah lebih banyak menyisakan persoalan.

Beberapa bankir yang dihubungi majalah ini menyatakan banyak pembiayaan bermasalah yang menyisakan catatan hitam. Plus pendekatan pemberian pembiayaan lebih banyak bersifat “kedekatan” ketimbang sisi bisnis. Bank-bank syariah yang dikelola dengan tata kelola yang baik, hasilnya seperti yang sampai saat ini punya kinerja sangat baik.

Perbankan syariah pernah menjadi primadona, bahkan disebut-sebut tahan krisis ketika terjadi krisis pada 1998 lalu. Bank syariah tidak mengalami masalah karena sistem bagi hasil. Namun, jika dilihat lebih dalam, sejatinya bukan semata bagi hasil. Waktu krisis lalu, portofolio pembiayaan bank syariah lebih dominan ke usaha kecil dan tidak ada unsur dolar. Bank-bank yang bermasalah adalah bank dengan pembiayaan dolar Amerika Serikat (AS) dan kredit korporasi.

Sementara, bank yang pembiayaan rupiah dan usaha kecil terus bertahan. Jadi, bukan semata-mata karena konsep bagi hasil dan tidak adanya unsur spekulasi. Namun, mengapa ketika bank-bank konvensional berkinerja sangat bagus di tengah tekanan NPL, bank syariah masih harus bergelut dengan lumpur pembiayaan bermaslaah dan mencari tambahan suntikan modal.

Kegagalan lain bank syariah yang paling mendasar adalah menyangkut tata kelola dan mengelola risiko. Banyak bank syariah jatuh pada lubang yang sama, yaitu menyangkut tata kelola dan tergoda hendak membiayai apa yang dibiayai oleh bank konvensional. Padahal, kapasitas dan kemampuan SDM-nya tak memadai, maka lahirlah pembiayaan bermasalah.

Sudah saatnya, layaknya sebuah bisnis yang mencari keuntungan, perbankan syariah dikelola dengan tata kelola yang baik dengan service level yang sama baiknya dengan bank konvensional. Sudah selayaknya pengertian riba tak hanya menyangkut soal pengertian bunga, tapi menyangkut besar kecilnya bagi hasil.

Akan lebih baik jika bank konvensional bisa memberikan bunga pembiayaan sebesar 9%, maka pengertian riba sesungguhnya adalah jika bank syariah lebih kecil daripada 9% yang ditanggung debitur. Namun, apakah itu mungkin jika dana haji yang ditempatkan di bank syariah pun minta nisbah yang tidak kecil.

Pada akhirnya kegagalan bank, termasuk bank syariah, saat ini lebih banyak karena masalah tata kelola (governance), dan mari kita sama-sama membenahi. Dan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak boleh menutup mata dengan masalah tata kelola di bank-bank, termasuk di bank syariah. Masalah tata kelola di bank syariah yang menyebabkan bank-bank syariah jatuh di lumpur pembiayaan bermasalah ini. (*)

Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank

Related Posts

News Update

Top News