Jakarta–Suku bunga acuan (BI Rate) yang sudah turun menjadi 7,25% diharapkan dapat mendorong sektor riil sehingga dapat menopang perekonomian nasional. Oleh sebab itu, perbankan nasional seharusnya dapat meningkat pembiayaannya di sektor tersebut.
Namun demikian, menurut pengamat ekonomi Yanuar Rizki, sejauh ini perbankan lebih cenderung mengutamakan kondisi pasar uang dibanding ke sektor riil. Sehingga, ketika terjadi kelebihan likuiditas, perbankan malah mengguyurkan dananya ke pasar uang, bukan ke sektor riil.
“Saat ini dengan BI Rate yang sudah diturunkan, likuiditas mulai longgar. Tapi ekses likuiditas itu saat perekonomian relatif stabil justru tidak mengalir ke sektor riil, tapi justru ke sektor pasar uang,” ujar Yanuar di Jakarta, Senin, 1 Februari 2016.
Menurutnya, hal ini menjadi persoalan struktural perbankan, sehingga perbankan tidak bisa meningkatkan peran intermediasinya terhadap perekonomian. “Karena perbankan hanya peduli untuk menjaga nilai CAR (capital adequacy ratio/rasio kecukupan modal),” tukasnya.
Dia menilai, perbankan nasional masih disibukkan dengan persoalan efektivitas pengelolaan pendapatan dari aset yang dimiliki. Sehingga, bank mengalihkan return on asset (ROA) ke CAR dan membuat pendapatan perbankan naik, namun rentan terhadap kondisi pasar.
“Maka yang terjadi, intermediasi perbankan tidak menjadi pilihan likuiditas. Tidak ke sektor riil. Bagi mereka, pasar uang antarbank dan obligasi lebih menjadi pilihan,” tukas Yanuar.
Dalam konteks pasar uang antarbank ini, kata dia, peran bank BUMN sangatlah besar. Pasalnya, sebagai liquidity provider, peran perbankan lebih dominan. Hanya saja, jika dilihat dari sisi intermediasi tentu kondisi tersebut tidaklah positif.
“Karena yang dibutuhkan rakyat adalah intermediasi. Agar sektor riil bertumbuh,” tutupnya. (*) Rezkiana Nisaputra