Oleh: Rofikoh Rokhim
PANDEMI COVID-19 secara drastis telah mengubah tatanan kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar sumber daya yang ada saat ini terfokus untuk mengatasi dampak pandemi. Di lain sisi, kita juga tidak boleh lupa bahwa saat ini kita masih memiliki pekerjaan besar untuk dapat mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).
Dengan adanya pandemi, langkah untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pun akan menemui makin banyak tantangan. Pengentasan kemiskinan, perubahan iklim, akses pendidikan yang berkualitas, kesehatan masyarakat, dan kesetaraan gender adalah isu utama dari tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kita sepakat bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan harus diupayakan semaksimal mungkin melalui berbagai inisiatif. Namun, tentu pelaksanaannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa dibilang saat ini kita masih banyak PR, tapi rupiah terbatas. Dengan segala keterbatasan, kita harus memikirkan alternatif sumber pembiayaan selain dari anggaran pemerintah. Pertanyaannya, dari mana kita bisa mendapatkannya?
Statistik Sistem Keuangan Indonesia edisi Januari 2021 menunjukkan bahwa 77,90% aset keuangan di sistem keuangan Indonesia berada di industri perbankan. Sisanya, 22,90%, berada di industri keuangan nonbank, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun.
Artinya, perbankan memegang peranan yang sangat penting dalam perputaran aset keuangan di Indonesia. Perbankan dapat menjadi katalis untuk menggerakkan perekonomian yang berkelanjutan melalui praktik sustainable finance atau keuangan berkelanjutan.
Keuangan berkelanjutan mengacu pada segala bentuk layanan keuangan yang mengintegrasikan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, governance/ESG) ke dalam keputusan bisnis atau investasi untuk keuntungan jangka panjang bagi klien dan masyarakat luas.
Dalam praktiknya, bank dan lembaga keuangan tidak hanya berfokus pada profit (keuntungan) semata, tapi juga pada planet (bumi) dan people (manusia).
Konsep keuangan berkelanjutan mendorong lembaga keuangan untuk meningkatkan aliran modal ke proyek dan sektor hijau, ramah iklim dan inklusif, serta membantu lembaga keuangan mengintegrasikan tujuan iklim dan risiko jangka panjang terkait dengan iklim ke dalam manajemen portofolio mereka.
Salah satu hal yang perlu ditekankan dalam konsep keuangan berkelanjutan adalah perbedaannya dengan konsep tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR). Dalam pelaksanaan CSR, entitas bisnis lebih banyak mengambil peran sebagai filantropis dan bersifat voluntary dan sebagian besar karena ingin membalas budi kepada lingkungan dan komunitas, terlepas dari pertanyaan apakah model bisnisnya sesuai dengan etika bisnis atau tidak.
Sebaliknya, dalam praktik yang diusung oleh keuangan berkelanjutan, model bisnis yang digunakan dalam mencari keuntungan harus selaras dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Dalam hal ini, lembaga keuangan menjadi driver yang memastikan entitas bisnis menyelaraskan aktivitas profit making dan komitmen menjaga lingkungan dan komunitas sosial pada saat yang bersamaan melalui komitmen penyaluran modal.
Dalam pelaksanaan praktik keuangan yang berkelanjutan, penting untuk menggarisbawahi konsep visi jangka panjang (long-term vision). Artinya, dalam jangka pendek mungkin profitabilitas yang dapat diperoleh lembaga keuangan sedikit lebih rendah, namun profitabilitas ini dapat dipastikan terus berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang.
Pembiayaan Sosial dan Pemberdayaan UMKM
Salah satu misi sosial yang juga diusung dalam konsep keuangan berkelanjutan, utamanya di Indonesia, adalah tersedianya layanan keuangan yang inklusif. Mengapa layanan keuangan yang inklusif menjadi penting?
Melihat peta persebaran jenis usaha di Indonesia berdasarkan skala usahanya, lebih dari 90% merupakan UMKM. Sementara itu, angka inklusi keuangan di Indonesia “baru” mencapai 76,19% pada 2019 (Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019, Otoritas Jasa Keuangan).
Ini mengindikasikan belum semua penduduk Indonesia dapat menikmati akses terhadap jasa keuangan, dan sebagian di antaranya bisa jadi merupakan pelaku UMKM. Padahal, kemampuan memperoleh akses permodalan yang terjangkau merupakan salah satu penentu keberlangsungan suatu usaha.
Data menunjukkan, UMKM mendapatkan pembiayaan dari perbankan sebesar Rp1.091 triliun pada Desember 2020, baru sekitar 25% dari total kredit yang disalurkan perbankan.
Hal ini menuntut transformasi antarlembaga-lembaga yang ada dalam industri keuangan di Indonesia untuk lebih meningkatkan kolaborasi demi penguatan jejaring perbankan kepada sektor UMKM. Penyaluran kredit/pembiayaan kepada UMKM ini tidak cukup hanya dilakukan oleh sektor perbankan, tapi juga berbagai lembaga terkait.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012, yang kemudian diubah dengan PBI Nomor 17/12/PBI/2015, mengarahkan bank untuk mengalokasikan pembiayaan kepada UMKM minimal 20% dari total kredit/pembiayaan. Jika bank tidak memenuhi ketentuan tersebut, bank diharuskan memberikan pelatihan kepada UMKM.
Perluasan akses atau ketersediaan (availability) dari kredit dan lembaga keuangan adalah faktor yang sangat krusial bagi UMKM karena pada dasarnya UMKM mempunyai kemampuan bayar yang baik.
Sejalan dengan semangat sharing economy, kolaborasi dari berbagai lembaga keuangan (bank, koperasi, BMT, PNM, PUKK, universitas, LKM, dan LSM) akan membantu tercapainya misi sosial bagi peningkatan inklusivitas, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah. Ini adalah salah satu akar dari lembaga keuangan sosial.
Hal itu juga sejalan dengan pengertian social banking atau social finance bahwa industri keuangan selayaknya mengembalikan penggunaan uang kepada kehidupan nyata atau ekonomi riil (Benedikter, 2011). Misi sosial ini mampu diperluas dengan adanya penyaluran dana dari perbankan melalui lembaga keuangan mikro.
Pertanyaannya, apakah memberikan pembiayaan dengan tujuan sosial dapat memberikan keuntungan bagi perbankan dan lembaga keuangan? Jika UMKM ini makin besar, maka terdapat beberapa manfaat bagi lembaga keuangan. UMKM akan menempatkan dananya di sektor perbankan/lembaga keuangan. UMKM juga dapat melakukan transaksi keuangan melalui perbankan/lembaga keuangan sehingga meningkatkan traffic aktivitas lembaga keuangan tersebut.
Dengan menggabungkan kontribusi dari berbagai pemangku kepentingan, diharapkan lembaga keuangan dapat makin memperkuat tujuan untuk menyeimbangkan peran secara sosial dan pencapaian profit. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat peran sektor keuangan dalam membantu masyarakat mencapai tujuannya dan menjadi sistem pendukung di dalam masyarakat (Shiller, 2012).
Tidak hanya itu, jika selisih antara rate of return on capital, dalam hal ini tingkat pengembalian yang dikenakan oleh lembaga keuangan, dan pertumbuhan ekonomi dapat diturunkan, maka itu dapat membantu penurunan kesenjangan distribusi kekayaan (Piketty, 2014). Dengan demikian, maka lembaga keuangan dapat memberikan pendanaan yang lebih mudah dan terjangkau bagi berbagai kegiatan yang mendukung masyarakat dan lingkungan sehingga dapat mendukung keberlangsungan lembaga keuangan.
*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.