Perang Suku Bunga Antar Bank di Depan Mata

Perang Suku Bunga Antar Bank di Depan Mata

Jakarta – Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 125 basis points (bps) hingga Agustus 2018. Bahkan, BI masih membuka ruang untuk kembali naikkan kebijakan moneter BI 7-day reverse repo rate sampai akhir tahun. Tingginya suku bunga acuan ini dikhawatirkan bakal mendorong bank-bank berlomba untuk menaikkan suku bunga depositonya atau biasa disebut dengan perang suku bunga antar bank.

Bank Sentral yang sudah menaikkan suku bunganya menjadi 5,50 persen, langsung direspon perbankan dengan menaikkan suku bunganya terutama deposito. Berdasarkan data uang beredar BI menunjukkan, suku bunga simpanan dengan tenor 1, 3, 6, dan 24 bulan pada Juli 2018 masing-masing tercatat sebesar 6,01 persen, 5,99 persen, 6,29 persen, dan 6,77 persen meningkat dibandingkan 5,74 persen, 5,83 persen, 6,12 persen, dan 6,68 persen pada bulan sebelumnya.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, bukan tidak mungkin bagi bank untuk berlomba-lomba atau melakukan perang suku bunga deposito guna menarik dana nasabah yang akan dipergunakan untuk menyalurkan kredit. Hingga Juli 2018, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) memang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan kredit. Hal ini sejalan dengan perbankan yang tengah kencang menyalurkan kreditnya hingga akhir tahun.

“Bisa saja perang suku bunga. Apalagi bank-bank yang likuiditasnya ketat, LDR nya yang agak mentok-mentok, yaa mungkin dia butuh dana lebih untuk menjaga likuiditasnya. Jadi dia naikkan suku bunga depositonya. Apalagi posisi dananya itu ada di deposito yaa terpaksa harus naikkan lebih tinggi lagi,” ujarnya ketika dihubungi Infobank, di Jakarta belum lama ini.

Asal tahu saja, penghimpunan DPK pada Juli 2018 tercatat sebesar Rp5.209 triliun, tumbuh 6,4 persen (yoy), sedikit Iebih tinggi bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 63 persen (yoy). Peningkatan pertumbuhan DPK tersebut seiring dengan peningkatan suku bunga untuk jenis simpanan dengan tenor tertentu serta adanya peningkatan proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk simpanan sebagaimana Survei Konsumen Bank Indonesia periode Juli 2018.

Berdasarkan jenis simpanannya, akselerasi DPK terjadi pada instrumen simpanan berjangka dan tabungan. Pertumbuhan simpanan berjangka mengalami peningkatan dari 2,5 persen (yoy) pada Juni 2018 menjadi 3 persen (yoy) di Juli 2018 khususnya pada nasabah korporasi di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur serta nasabah perseorangan di wilayah DKI Jakarta dan Banten. Sementara tabungan tercatat tumbuh sebesar 113 persen (yoy), Iebih tinggi dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 10,6 persen (yoy).

David mengungkapkan, potensi perang suku bunga deposito antar bank akan cenderung terjadi pada bank dalam kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) I atau bank dengan modal inti dibawah Rp1 triliun dan juga bank BUKU II atau bank dengan modal inti antara Rp1 triliun hingga Rp5 triliun. Hal ini sejalan dengan kebutuhan likuiditas di bank-bank itu yang cukup besar. Maka dari itu, bank BUKU I dan II berani menawarkan suku bunga depositonya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bank Buku III dan IV

“Yang LDR nya tinggi mungkin bank BUKU I dan II yang perang suku bunga. Tapi mungkin BUKU III ada beberapa bank, tapi dominan di BUKU I dan II,” katanya.

Di sisi lain, lanjut dia, meski Bank Sentral sudah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 125 bps, namun kredit perbankan tahun ini diperkirakan masih mampu tumbuh double digit. Dirinya memperkirakan, kredit perbankan hingga akhir tahun akan tumbuh sekitar 12 persen. Di mana hingga Juli 2018 kredit perbankan telah tumbuh 11 persen atau mencapai Rp4.989,8 triliun, dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang baru tumbuh sebesar 10,5 persen (yoy).

“Untuk pertumbuhan kreditnya, permintaan kredit sudah lumayan yaa sudah tumbuh 11 persen. Sedangkan untuk DPK sendiri mungkin maksimum tergantung kondisi eksternal yaa tumbuh sekitar 6-8 persen saja sudah bagus,” ucapnya.

Keputusan Bank Sentral untuk menaikkan suku bunga acuannya ini bukan tanpa alasan. Kondisi nilai tukar rupiah yang melemah cukup dalam menjadi alasan utama BI menaikkan suku bunganya, ditengah ekspektasi pasar terkait dengan adanya kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) pada bulan September dan Oktober tahun ini. Kebijakan moneter BI ini juga untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.

Menurut BI, pihaknya akan terus melakukan penguatan koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan eksternal dalam kondisi ketidakpastian perekonomian global yang masih tinggi. Ke depan, Bank Sentral terus mencermati perkembangan dan prospek perekonomian domestik maupun global, untuk memperkuat respons bauran kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan nasional. (*)

Related Posts

News Update

Top News