Perang Brutal China vs AS: Saatnya Indonesia Pakai Jurus Hedging

Perang Brutal China vs AS: Saatnya Indonesia Pakai Jurus Hedging

Oleh: Budi Santoso, SE, Ak, MFroAccy, PGCS, CA, CFE, CPA (Aust.), QIA, GRCP.
Board Member DSQIA, Vice President ACFE Indonesia, Dosen Akuntansi Forensik UNS

PERANG dagang dimulai, Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif kepada banyak negara. AS secara sepihak menaikkan tarif hingga 32 persen terhadap sejumlah barang asal Indonesia.

Perang dagang makin “brutal” setelah China membalas perang tarif dengan mengenakan tarif baru 84 persen dari 34 persen yang dikenakan ke China. Lalu, AS memberlakukan tarif balasan sebesar 125 persen. Perang saling serang telah terjadi. Bagaimana posisi Indonesia?

Tarif ini tidak hanya menyasar produk Tiongkok, tapi ikut menyentuh negara-negara berkembang seperti kita yang dianggap “menumpang” dalam jalur produksi China. Kebijakan proteksionis Donald Trump—yang kini kembali mencuat dalam kampanyenya—mengirim pesan keras: perang dagang belum berakhir, dan Indonesia bukan sekadar penonton.

Dampaknya? Tekstil, furnitur, karet, hingga alas kaki Indonesia langsung terancam kehilangan daya saing di pasar AS. Sektor padat karya bisa mengalami PHK massal. Indeks saham sempat melemah, nilai tukar rupiah tertekan, dan tekanan diplomatik pun membayangi.

Baca juga: Ekonom Sebut Penundaan Tarif Trump Jadi Momen untuk Berbenah

AS dan China Tak Lagi Sekadar Bersaing—Mereka Sedang Bertarung

Hari ini, dua kekuatan global ini sedang dalam perang brutal versi abad 21: bukan lagi senjata, tapi tarif, teknologi, dan pengaruh politik. AS memblokir chip dan teknologi AI ke China. China membalas lewat dominasi rantai pasok nikel dan baterai global—yang ironisnya bersumber dari Indonesia.
Pertanyaannya: di mana posisi kita?

Indonesia Jangan Jadi Korban Perang Dagang

Indonesia selama ini bermain aman: menerima investasi dari Tiongkok untuk smelter dan kereta cepat, sambil tetap ikut latihan militer bersama AS. Tapi dunia telah berubah. Netralitas tanpa arah bisa menjadi jebakan. Kita harus bermain catur, bukan sekadar bertahan.

Saatnya Pakai Jurus Hedging: Bukan Diam, Tapi Aktif Menawar

Strategi “hedging” yang dijalankan Indonesia sebenarnya punya fondasi kuat. Artinya sederhana: berkawan dengan dua pihak, tapi memihak pada kepentingan nasional sendiri.
Kita punya daya tawar:

  • Nikel: Indonesia adalah penghasil terbesar dunia.
  • Pasar digital: raksasa teknologi seperti Apple, Amazon, dan Huawei semua ingin masuk.
  • Jalur logistik: Selat Malaka dan Natuna jadi urat nadi perdagangan global.
    Artinya: Indonesia bisa menekan balik. Kita bisa tawarkan kerja sama kepada yang menghormati syarat kita—bukan sekadar menerima investasi atau teknologi, tapi dengan transfer pengetahuan, akses pasar, dan diplomasi yang setara.

Jangan Takut Ditekan—Mulai Bangun Posisi Tegas

Beberapa langkah yang bisa segera dilakukan:

  • Perkuat posisi di ASEAN dan G20 sebagai blok tawar kolektif, bukan hanya follower.
  • Diversifikasi ekspor dan investasi ke India, Timur Tengah, dan Afrika—keluar dari jebakan bipolar.
  • Transparansi dalam kerja sama infrastruktur—baik dari AS maupun China, pastikan tidak mengorbankan kedaulatan data dan lingkungan.
  • Gunakan kekuatan publik: narasi diplomasi harus dibangun dari dalam negeri—rakyat perlu tahu bahwa kita punya pilihan, dan itu bukan tunduk pada salah satu pihak.
Baca juga: Trump Tunda Tarif Resiprokal 90 Hari, Kecuali untuk China

Dunia Sedang Memanas, Indonesia Tak Boleh Dingin

Perang dagang hari ini bukan soal siapa menang atau kalah. Tapi soal siapa bisa menjaga integritas dan masa depan ekonominya. Jika kita tidak menggunakan jurus hedging dengan cerdas, kita hanya akan jadi korban dari permainan besar.

Indonesia harus bersikap. Tidak untuk memusuhi, tapi untuk memimpin. Karena dalam dunia yang makin tak pasti, hanya negara yang tahu apa yang dia perjuangkan yang akan tetap berdiri. (*)

Related Posts

Top News

News Update