Belajar dari Kasus ACT (Investigasi Majalah Tempo terbaru)
Oleh Rachmat Mulyana, Peneliti Senior Indef
SETELAH menyimak dokumen investigasi 43 halaman tersebut, sambil menunggu tabayyun dari pihak terkait maka saya mengusulkan beberapa point penting sebagai pembelajaran untuk perbaikan ke depan. Mungkin bisa saya sebut sebagai Draft Standar Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam untuk kemudian terus disempurnakan dan dikembangkan. Tidak lain agar ini menjadi solusi dan amal sholeh, tidak dimaksud berghibah atau sejenisnya.
Sebagaimana diketahui sudah ada Zakat Core Principles dan Waqf Core Principles, masalahnya ACT ini bukan lembaga amil zakat namun distributor sedekah. Mungkin yang diperlukan adalah prinsip tata kelola saja.
Jadi yang diperlukan adanya standar Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam yang sebagian besar diambil dari standar tata kelola lembaga lainnya. Yang menjadi concern saya adalah bahwa sejatinya standar tata kelola justru diambil dari prinsip-prinsip syariah, yang dikembangkan di lembaga bisnis namun sangat disayangkan jika ini luput diterapkan di lembaga Islam, padahal asal usulnya diambil dari prinsip syariat. Saya sedikit jelaskan disini.
Standar tata kelola Lembaga Filantropi Islam, paling tidak berisi 4 (empat) prinsip yaitu
1. TRANSPARANSI
Jika kita membaca Al Baqarah 282, ayat terpanjang di dalam Al Quran maka jelas kita diwajibkan menerapkan transparansi jika melakukan transaksi.
Terjemahan Al Baqarah 282:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Prinsip “Faktubuhu” ini tentu saja aplikasinya akan disesuaikan dengan perkembangan sains dan teknologi. Misalnya untuk masa mendatang teknologi blockchain yang lebih menjamin trnasparansi akan sangat dibutuhkan. Disamping itu tentunya soal reporting dan segala keterbukaan informasi yang sekarang ini diterapkan di perusahaan publik seharusnya juga bisa diadopsi secara bertahap di lembaga filantropi
2. OVERSIGHT (PEMANTAUAN)
Konstruksi kehidupan kita sejatinya oleh syariat sudah dibangun (built-in) akan adanya pengawasan. Setiap manusia dijaga dan dicatat segala amalnya oleh makhluk gaib yang disebut malaikat. Kita disunnahkan berpasangan agar keputusan penting dalam perjalanan hidup senantiasa diputuskan bersama. Ketika meminang seorang gadis, maka keputusan terbaik datangnya dari dua pihak, yakni sang calon pengantin serta walinya, dinikahkan dengan akad yang di dalamnya hadir para saksi serta pejabat pemerintahan (ulil amri). Disini prinsip-prinsip pemantauan diletakkan
Ketika mendakwa seseorang kita diwajibkan menghadirkan saksi dan bukti dan dilakukan melalui proses pengadilan, tidak boleh kita menjatuhkan hukuman hanya atas prasangka sendiri. Itu artinya, pemantauan dalam kehidupan dan keputusan-keputusan itu penting. Dalam kasus ACT misalnya, mereka memutuskan besaran gaji diantara mereka sendiri. Mereka mengambil keputusan tanpa kendali Pengawas, Komite Etik, atau apapun stuktur yang ada diantara mereka. Dalam Bahasa umum, penerapan good governace harus lebih diperhatikan. Prinsip Dewan yang mengambil putusan melalui collective collegial juga dipentukkan memenuhi prinsip saling mengontrol ini.
Baca Juga : Principal Kerjasama Pemanfaatkan Keuangan Sosial Syariah & Filantropi
3. STANDAR ETIK
Dikisahkan, suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tiba-tiba putranya masuk ke ruangan bermaksud hendak membicarakan sesuatu. “Untuk urusan apa putraku datang ke sini, urusan negarakah atau keluargakah?” tanya Umar. “Urusan keluarga, ayahanda,” jawab sang putra.
Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap. “Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran. “Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar. Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam. “Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah”.
Kisah di atas merupakan teladan standar etika yang menjadi khasanah Muslimin yang sangat berharga. Betapa tingginya standar etika para pendahulu kita. Berbagai kasus yang diungkap Majalah Tempo di ACT sejatinya menunjukkan banyaknya etika yang dilanggar. Penerapan standar etika bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan misalnya mendirikan Komite Etik, membuat Pedoman Kode Etik dan Tata Perilaku, dan lain sebagainya yang biasa dipakai dalam prinsip GCG. Tinggal diadopsi saja.
4. INDIKATOR KINERJA (KPIs)
Salah satu prinsip kinerja dalam Islam yang mencerminkan keadilan Allah (Allah Al Adl) adalah kita akan dimintai pertanggungjawaban serta ditimbang antara amal soleh dan kesalahan yang kita perbuat. Jadi, prinsip penilaian kinerja dan indikator kinerja adalah Sunnatullah.
Kasus alokasi gaji yang dinilai tidak wajar, alokasi penyaluran yang tidak proporsional adalah sebagian dari masalah yang timbul akibat tidak ditetapkannya indikator kinerja yang disepakati antara para pihak (stake holders). Ke depannya, lembaga Filantropi harus menetapkan KPIs jumlah alokasi biaya sendiri, jumlah alokasi penyaluran sedekah, proporsi biaya operasi, prosentasi gaji dari berbagai indicator yang kritikal.
Demikian empat prinsip yang menurut saya harus ditegakkan di Lembaga Filantropi Islam ke masa depan. Wallahu a’lam. (*)