Pentingnya Self Branding untuk Bankir di Era Digital, Ini Pesan Rhenald Kasali

Pentingnya Self Branding untuk Bankir di Era Digital, Ini Pesan Rhenald Kasali

Jakarta – Membangun brand tidak hanya penting bagi keberlangsungan bisnis, tetapi juga bagi citra individu (self branding), terutama di era digital saat ini.

Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menilai banyak bankir atau pimpinan lembaga perbankan saat ini kurang dikenal masyarakat. Padahal, dikenal publik merupakan pintu masuk pertama untuk mendapatkan kepercayaan.

“Hari ini banyak sekali bankir yang tidak dikenal di masyarakat. Padahal, dikenal itu adalah cermin kepercayaan. Cermin bagaimana saudara me-maintain karier saudara,” ujar Rhenald dalam sharing session Economy Mastery Forum 2025 bertema “Unlock Opportunities in Global Economic Changes”.

Acara yang diadakan Infobank Media Group bersama Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) ini digelar di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Jumat, 29 Agustus 2025.

Rhenald melanjutkan, dikenal dan dipercaya masyarakat menjadi dasar terbentuknya citra atau personal branding.

Di era digital yang didominasi generasi muda, self branding melalui media sosial menjadi cara efektif untuk membangun kepercayaan publik sekaligus karier personal ke depan.

Baca juga: Mau Jadi Wanita Sukses dalam Karier dan Keluarga? Bankir Ini Kasih Kuncinya

Ia pun mencontohkan strategi brand Dove dari Unilever di Amerika Serikat (AS) yang meluncurkan sabun beraroma cookie, lalu mempromosikannya melalui puluhan ribu influenser media sosial.

“Jadi, menggunakan influenser. Bukan influenser makro, tapi influenser kelas mikro. Mereka menggunakan puluhan ribu, dan kemudian disuarakan. Mereka juga menggandeng Crumbl Cookies, toko cookie yang cabangnya seribu lebih di AS,” imbuhnya.

Sebaliknya, brand Unilever di Indonesia justru menghadapi tantangan berupa hoaks dan misinformasi terkait konflik Palestina–Israel.

Branding Bukan Sekadar Logo

Menurut Rhenald, membangun brand bukan hanya soal logo, melainkan juga menyangkut pola pikir, perubahan struktur, penciptaan kategori produk baru, penerapan teknologi, dan efisiensi.

“Kalau dulu 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 200 ribu tenaga kerja baru. Hari ini barangkali 1 persen investasi baru berpotensi menelan dunia pekerjaan yang sudah ada, akibat teknologi. Dan semuanya mencari efisiensi hari ini,” tegasnya.

Baca juga: Begini Cara Kantar Indonesia Dorong Daya Saing Brand Lokal

Ia kemudian menyinggung sejumlah korporasi besar di Indonesia yang mengalami perubahan setelah melakukan rebranding menyeluruh.

Misalnya, Pertamina yang memulai rebranding dengan mengubah logo dari sebelumnya berlogo kuda laut, atau Astra yang sebelumnya berlogo bola dunia berwarna merah.

“Kuda laut itu kan tidak besar badannya. Kalau kena gelombang langsung miring jalannya. Usianya kalau di aquarium juga tidak lama. Pertamina saat itu juga mengalami hal serupa, tahun ‘97-’98 sampai 2008, 10 tahun (krisis),” tutur Rhenald.

Peluncuran Buku

Pada kesempatan yang sama, Rhenald menyinggung buku “Transformasi dan Ruwat-Citra” karya mantan bankir senior Sigit Pramono. Buku itu juga menceritakan rebranding yang dilakukan mantan Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, saat menjabat 2010–2021.

Anas memanfaatkan kekayaan budaya Banyuwangi, lalu mengelaborasikannya melalui kekuatan masyarakat (people) dan teknologi.

“Pak Anas itu menggunakan berbagai hal, termasuk menggunakan Pak Sigit. Pak Sigit menjadi investor pertama ya. Lalu, Pak Sigit membangun tempat wisata di Banyuwangi. Dan itu menceritakan bagaimana meruwat citra Banyuwangi,” papar Rhenald. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62