Saat ini impor bahan baku untuk perusahaan tekstil mencapai sebesar 80%, seperti serat kapas yang tidak bisa tumbuh secara ekonomis di negara tropis. Dwitya Putra
Jakarta–Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menyulitkan langkah perusahaan yang berorientasi pasar dalam negeri, sementara mengandalkan bahan bakunya dari luar negeri.
Hal ini pun diakui oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Dolar yang sudah menyentuh level Rp14.000-an sudah sangat memberatkan industri, karena ongkos produksi semakin mahal.
Ketua API, Ade Sudrajat mengatakan, selama pemasaran dari perusahaan tekstil tersebut ekspor, maka berapapun kursnya tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagi perusahaan yang pasarnya hanya lokal pastinya ini menjadi masalah besar karena penjualannya akan menurun seiring daya beli masyarakat yang lemah dan lebih mengutamakan kebutuhan primer dibanding sekunder seperti tekstil.
”Kalau orientasinya pasar dalam negeri, pilihannya sangat sempit. Tutup atau terus kurangi jam kerja,” ucap Ade saat dihubungi wartawan di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, impor bahan baku untuk perusahaan tekstil sebesar 80%, seperti serat kapas yang tidak bisa tumbuh secara ekonomis di negara tropis.
“Bahan baku garmen tetap harus diimpor karena ditunjuk oleh buyer luar negeri. Sedangkan untuk serat sintetik bisa tercukupi saat ini dari dalam negeri,” tuturnya.
Ade mencatat, jumlah perusahaan tekstil yang pasarnya berorientasi ekspor sekarang mencapai 22.000 perusahaan dengan melibatkan 1,8 juta tenaga kerja. Namun, pasar ekspor juga tidak semata-mata menguntungkan pengusaha tersebut walau mendapatkan pendapatannya berbentuk dolar AS.
“Sama sekali tidak ada keuntungan tambahan karena bahan baku dan aksesori semua impor, begitu juga listrik tarifnya sudah dikaitkan dengan kurs dolar AS. Kami berharap ada stimulus dwelling time sama dengan Malaysia dan Thailan,” tutup Ade. (*)
@dwitya_putra14