Penguatan UMKM bagi Perekonomian Nasional

Penguatan UMKM bagi Perekonomian Nasional

Oleh Babay Parid Wazdi,

KITA memang harus takjub pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia, mereka berkontribusi 90% dari kegiatan bisnis dan berkontribusi lebih dari 50% lapangan pekerjaan di seluruh dunia.

Di Indonesia, UMKM sampai dengan saat ini mewakili sekitar 99% dari total kegiatan bisnis di Tanah Air. Selain itu, UMKM menyerap 97% lapangan kerja di Indonesia. Artinya, dari sekian banyak lapangan usaha yang ada di sini, ternyata kegiatan bisnis di republik ini dikuasai oleh para pelaku UMKM.

Dan, dari semua pelaku UMKM saat ini, sekitar 99% merupakan pelaku usaha mikro. Pelaku usaha mikro ini memiliki omzet kurang dari Rp500 juta per tahun. Yang berarti kalau kita hitung, maka omzet harian pelaku usaha mikro ini di bawah Rp1,4 juta per hari. Tidak sulit menemukan pelaku usaha yang beromzet di bawah Rp1,4 juta per hari tersebut.

Kita bisa menemukan para pelaku usaha tersebut tersebar di lingkungan tempat kita tinggal. Mulai dari pedagang kebutuhan rumah tangga, pedagang asongan, industri rumahan, bengkel sepeda motor, salon kecantikan, peternak ikan, dan masih banyak lagi pelaku usaha mikro lainnya. Baik usaha mikro formal maupun informal yang belum memiliki nomor induk berusaha (NIB).

Dari catatan tersebut, harus disadari bahwa aktivitas bisnis pelaku UMKM ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak yang meremehkan kehadiran UMKM ini, terlebih usaha mikro. Usaha mikro dan kecil hanya dijadikan sebagai usaha alternatif, bukan menjadi cita-cita kebanyakan anak muda untuk merealisasikan mimpinya.

Baca juga: Begini Strategi Jitu UMKM Berekspansi

Usaha mikro dan kecil hanya dijadikan sebagai pilihan di saat kita gagal dalam mendapatkan pekerjaan impian, seperti menjadi pegawai BUMN, ASN, atau bekerja di perusahaan besar dan ternama. Bahkan, usaha mikro kerap dijadikan sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan sumber pendapatan, setelah kita kehilangan pekerjaan sebelumnya.

Sumber daya manusia (SDM) yang tersedia justru banyak terserap ke perusahaan besar atau mengalir ke instansi pemerintahan. Bukannya SDM yang memang sejak awal mengenyam pendidikan di sekolah sudah dipersiapkan untuk menjadi wirausahawan. Dan, dunia pendidikan tinggi pun dinilai terlambat menyediakan jurusan khusus guna mencetak wirausahawan.

Sejumlah kampus memang telah menghadirkan program studi kewirausahaan maupun disiplin ilmu vokasi lainnya sebagai sarana untuk mencetak SDM yang berkualitas untuk masuk dunia UMKM. Setelah selama ini pendidikan vokasi hanya berada di level sekolah menengah seperti sekolah menengah kejuruan atau SMK.

Dan, mirisnya yang menjadi tantangan pengembangan UMKM saat ini salah satunya adalah masalah SDM,  di samping masalah lainnya seperti akses modal, pasar, dan digitalisasi. Di lain sisi, kehadiran UMKM justru memiliki peran penting bahkan menjadi tulang punggung perekonomian saat kita berjibaku dengan pandemi COVID-19.

Jadi, tidak berlebihan jika kita menjadikan UMKM sebagai motor penggerak ekonomi ke depan. Hal itu mengingat urgensi dari kehadiran UMKM yang memang sangat vital dalam menjaga ekonomi nasional dari gejolak eksternal, seperti siklus krisis ekonomi global yang lebih sering terjadi belakangan ini. Dan, demand consumption (konsumsi domestik) yang dijadikan sebagai pengembangan ekonomi nasional dewasa ini pada dasarnya juga bertumpu pada UMKM.

UMKM saat ini menyumbang sekitar 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) di Tanah Air. Yang artinya, jika kelas usaha besar (komersial maupun korporat) bermasalah, maka UMKM bisa dijadikan sebagai penyelamat ekonomi nasional. Hal itu berkaca pada krisis ekonomi 1998 dan masa pandemi COVID-19 yang berlangsung sekitar tiga tahun (2020-2022), tatkala banyak perusahaan merumahkan sebagian karyawaannya.

Kebijakan pemerintah yang memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada para pelaku usaha mikro dan kecil, serta kepada masyarakat menengah ke bawah, terbukti ampuh menjaga daya beli masyarakat. Meskipun ekonomi Tanah Air sempat terkontraksi hingga 2,07% di 2020. Bersyukur ekonomi nasional sampai dengan saat ini mampu tumbuh di kisaran 5%. Sementara, banyak negara besar di dunia justru mengalami perlambatan serius. Malah tidak sedikit yang masuk dalam jurang resesi.

Akan tetapi, kebijakan yang diambil pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan daya beli masyarakat sejauh ini lebih banyak dalam bentuk bantuan sosial (bansos). Hasilnya memang cukup baik dalam menjaga belanja masyarakat dan membantu banyak pelaku UMKM bertahan dari tekanan. Dan, pengalaman ini bisa dijadikan pembelajaran dan dijadikan acuan formulasi kebijakan yang akan diambil untuk memperkuat peran UMKM bagi ketahanan ekonomi nasional.

Baca juga: LPS Fasilitasi Pengembangan UMKM Batik Berteknologi Modern

Ke depan, alangkah baiknya jika bansos tidak lagi dijadikan sebagai instrumen utama dalam mengembangkan UMKM. Namun, kerangka kebijakannya adalah bagaimana memperkuat posisi UMKM sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Untuk itu, implementasi kebijakan ke depan dalam jangka panjang seharusnya diarahkan untuk pengembangan UMKM, yang terbagi dalam lima klaster prioritas.

Satu, klaster produksi. Dalam hal ini bagaimana mengakomodasi kebutuhan pelaku UMKM akan barang input produksi. Tujuannya adalah agar pelaku UMKM bisa mendapatkan harga input produksi yang lebih bersaing. Dengan pengembangan klasterproduksi, maka para pelaku UMKM yang melakukan aktivitas produksi bisa mendapatkan harga input produksi yang lebih murah, yang nantinya akan membuat harga produk jual UMKM menjadi lebih bersaing.

Sebagai ilustrasi, misalkan pelaku UMKM produsen tempe dan tahu yang tergabung dalam koperasi diberikan akses untuk mengimpor bahan baku kedelai dari negara lain. Sehingga, anggota koperasi yang di dalamnya adalah pelaku UMKM tidak lagi membeli kedelai di pasar, yang harganya jauh lebih mahal ketimbang saat koperasi tersebut mampu melakukan importasi secara langsung.

Contoh lain adalah kemudahan akses pasar penjual bakso. Untuk kebutuhan daging sapi, pembuat bakso bisa langsung membelinya ke rumah potong hewan (RPH) atau ke perusahaan feedlotter. Atau, anggota koperasi (pelaku UMKM) yang membutuhkan tepung sebagai bahan baku pembuat kue maupun roti, di mana mereka bisa mendapatkan akses untuk kebutuhan tepung langsung ke produsen.

Dua, klaster distribusi. Klaster ini mengakomodiasi kepentingan produsen ke akses pasar yang lebih dekat dengan konsumen. Sebagai contoh petani cabai merah yang ingin menjual hasil panennya langsung ke pedagang pengecer. Tanpa harus melewati rantai pasok pengepul dan pedagang besar (distributor).

Petani cabai merah tersebut bisa disatukan dalam sebuah kelompok koperasi. Koperasi itu nantinya menjadi media untuk memasarkan produk pertanian langsung ke pedagang pengecer yang ada di suatu pasar tradisional. Ruang lingkup klaster ini juga berlaku untuk produk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, hingga produk olahan lain seperti tahu tempe dan banyak lagi.

Tiga, klasterpedagang. Klaster ini adalah untuk membuka akses pedagang yang terhubung langsung ke pengguna atau pembeli akhir (end user). Dalam hal ini, pelaku UMKM yang hanya menjual barang dagangan bisa langsung mendapatkan barang yang siap jual dari produsen atau koperasi yang tergabung dalam klaster produksi.

Klaster pedagang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai rantai distribusi terakhir dari klaster distribusi maupun produksi. Sebagai ilustrasi, sejumlah pedagang di pasar tradisional yang biasanya menjajakan komoditas pangan yang seragam seperti cabai, bawang, tomat, daging, telur atau kebutuhan pangan pokok lainnya ditampung dalam satu wadah bernama koperasi.

Lantas, koperasi pedagang yang tergabung dalam klaster pedagang tersebut bisa mendapatkan barang dagangannya, baik melalui koperasi di klaster produksi maupun klaster distribusi. Sehingga, harga jual barang menjadi lebih murah, karena tidak melewati rantai pasok yang panjang.

Empat, klaster end user UMKM. End user UMKM, baik yang bersifat ekosistem maupun nonekosistem, mesti menjadi perhatian UMKM dan pemerintah agar pasar UMKM terus tumbuh berkembang sehingga kesejahteraaan UMKM semakin meningkat. Misalnya, klaster ASN memprioritaskan pembelian barang dan jasa dari produk dan jasa UMKM, klaster perbankan, klaster pengajian, paguyuban, dan sebagainya.

Baca juga: Ini Dia Tiga Sektor UMKM yang Bisa Berjaya di Tahun Politik, Apa Saja?

Lima, klaster digital. Klaster ini berisikan pelaku UMKM yang mengembangkan layanan digital yang diperuntukkan sebagai media promosi, pengembangan produk, hingga aktivitas transaksi pelaku UMKM. Sehingga, ada wadah bagi pelaku UMKM untuk memasarkan produknya. Terlebih saat ini sudah hadir banyak pelaku e-commerce yang ekosistemnya sudah sangat berkembang.

Dengan digitalisasi, pelaku UMKM setidaknya bisa bersaing dengan kehadiran barang impor. Pelaku UMKM dapat terhindar dan dapat meminimalisasi praktik predatory pricing. Terlebih jika klaster digital menyediakan beragam kebutuhan masyarakat yang khusus dihasilkan dari produk UMKM di Tanah Air. Sehingga, pemasaran akan lebih terfokus pada produk yang dihasilkan pelaku UMKM lokal.

Secara keseluruhan, UMKM akan lebih berdaya saing dengan model pengembangan seperti itu, dan akan membuat ketahanan ekonomi nasional bertumpu pada fondasi yang lebih kokoh. Untuk itu, pemerintah bisa hadir dengan memberikan pendampingan, akses permodalan, pembinaan SDM, dorongan akses pasar yang lebih luas, hingga regulasi yang bisa menjembatani semua kebutuhan di setiap klaster itu sendiri.  

Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Mulia dan Berkah”.

Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM.

Related Posts

News Update

Top News