Jakarta – Saat ini mata uang dolar AS tengah kuat-kuatnya setelah Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikan tingkat suku bunganya sebesar 75 basis poin (bps) sebanyak dua kali berturut-turut di tahun ini.
Indeks dolar AS memperlihatkan bagaimana perbandingan antara dolar AS dengan British pound, euro, Swiss franc, Japanese yen, Canadian dolar, dan Swedish krona, dimana dolar AS unggul hampir 13% tahun ini, dan mendekati level tertingginya sejak Mei 2002.
Dengan dolar yang berada di posisi tertingginya sejak 20 tahun ke belakang, ini dapat mengganggu pendapatan korporasi multinasional besar. Itu karena kurs dolar yang sangat tinggi, otomatis akan mengurangi nilai penjualan dan pendapatan dari luar negeri.
Sebagai contoh, Microsoft (MSFT) dan Nike (NKE), mencatat level kurs dolar yang sangat kuat sebagai masalah untuk pos pendapatan mereka selama beberapa bulan ke belakang.
“Volatilitas mata uang telah berakselerasi dan valuasi-valuasi berada pada posisi ekstrim selama beberapa dekade. Sejarah tidak pernah menunjukkan sikap baik terhadap kondisi tersebut,” tutur Kepala Divisi Investasi Global di Morgan Stanley Wealth Management, Lisa Shalett, pada sebuah laporannya, seperti dikutip dari CNN, 13 September 2022.
“Ketika dolar membantu The Fed menangani inflasi, itu juga mengancam pendapatan perusahaan-perusahaan AS melalui pos pendapatannya di luar negeri dan merosotnya iklim persaingan,” kata Lisa.
Kurs dolar AS yang kuat akan mengantarkan pada kemunduran harga-harga minyak, karena minyak seperti crude palm oil atau komoditas lainnya diperdagangkan dalam dolar AS. Energi dengan biaya lebih murah akan disambut oleh masyarakat dunia yang tengah berjuang melawan kenaikan harga akibat inflasi.
Sektor minyak sendiri adalah sektor dengan kinerja terbaik di tahun ini. Jadi, jika harga minyak melanjutkan tren penurunannya, adapun harga minyak mentah telah turun hampir 5% pada bulan lalu, maka itu menjadi berita buruk untuk pasar secara keseluruhan.
“Kita ingin meyakini bahwa pergerakan kuat kurs dolar ini tidak berlanjut terus menerus. Karena dolar as yang kuat juga merupakan bencana bagi ekonomi Amerika Serikat,” tegas Ipek Ozkardeskaya selaku analis senior di Swissquote Bank, pada sebuah laporan minggu lalu.
“Dolar yang menguat seyogianya akan memberikan dampak buruk bagi sektor ekspor AS, membuat barang-barang Amerika Serikat menjadi tidak terjangkau bagi orang lain, terlebih dunia sedang berjuang dalam kubangan penurunan daya beli,” sebutnya lagi.
Ipek menyatakan, bila dolar AS melanjutkan tren penguatannya, maka ekonomi Amerika Serikat juga akan “menabrak tembok”.
Dolar AS yang tengah menguat juga melukai harga emas, yang turun sekitar 6% tahun ini, bersamaan dengan bitcoin dan aset kripto lainnya. Meskipun ada rebound dari bitcoin belum lama ini ke 22.000 USD, harga bitcoin telah terpangkas lebih dari setengah di tahun ini.
Namun demikian, tetap ada sisi positif dari penguatan mata uang dolar ini. Dolar AS yang kuat akan memberikan keuntungan bagi konsumen AS yang ingin membeli barang impor atau plesiran ke luar negeri.
Baca juga: Menakar Ulang Hegemoni Dolar AS di Pasar Keuangan Global
“Keuntungan dari adanya kurs dolar yang semakin kuat adalah dapat menjadi penyeimbang inflasi di level domestik dan memperkuat daya beli perusahaan dan konsumen AS di luar negeri,” ucap Kepala Divisi Investasi di Orion Advisor Solutions, Tim Holland, dalam laporan terbarunya.
Tim mengungkapkan bahwa dolar as dan euro sedang berada dalam level yang seimbang saat ini, bila dibandingkan dengan tahun 2008 dimana euro sempat mencapai level di atas USD1,60, yang menyebabkan harga minyak meningkat mendekati USD150 per barelnya. (*) Steven Widjaja