Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
PENGUASA sektor keuangan kini punya senjata baru. Senjata “sapu jagat” Undang-Undang Nomor 3 Tahun 20023 tentang Pengembangan dan Penguasa Sektor Keuangan (P2SK). Penguasa sektor keuangan adalah anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Mereka adalah Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lalu, siapa yang paling berkuasa di KSSK?
Menkeu sebagai Ketua KSSK lebih berkuasa, terutama saat terjadi krisis. Sedangkan posisi BI tampak seperti underbow Menkeu. Sebab, Menkeu yang mengurusi fiskal, juga memiliki otoritas di bidang moneter karena berhak menentukan berapa besar BI harus membeli Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana. BI tak bisa menolak. Pembelian SBN diputuskan oleh KSSK yang dikoordinir Menkeu. Dalam pasal 9 ayat 5, disebutkan apabila pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak hasilnya berimbang, maka Menkeu sebagai anggota merangkap koordinator KSSK memiliki kekuasaan besar untuk mengambil keputusan atas nama KSSK. Sedangkan kondisi krisis sendiri ditetapkan oleh presiden, yang tentunya atas usulan Menkeu.
Presiden pun seperti menempatkan Gubernur BI sebagai subordinate atau kedududukannya lebih rendah. Di pasal 58 disebutkan bahwa BI wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan secara tertulis kepada Presiden dan DPR, setiap triwulanan dan tahunan. Bandingkan dengan UU BI sebelumnya, dimana BI memiliki kedudukan yang sejajar dimana pemerintah wajib meminta pendapat BI dan/atau mengundang BI dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas BI atau masalah lain yang termasuk kewenangan BI.
Tugas pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menumbuhkan perekonomian seolah dibagi ke BI. Sebab, BI mendapatkan tugas tambahan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selain tugas untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, sistem pembayaran, sistem keuangan.
OJK juga memikul beban yang makin berat. Selain mengawasi sektor keuangan seperti yang selama ini dilakukan, ada tambahan tugas mengawasi lembaga keuangan mikro, sektor Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), aset keuangan digital, dan aset kripto. Namu OJK makin digdaya. Jumlah komisioner bertambah dari sembilan menjadi 11 dan dipersenjatai dengan kewenangan penyidikan (pasal 49 ayat [1]). Bahkan diperkuat pasal 49 ayat (5) yang bunyinya, ”Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK”.
Tambahan tugas juga dipikul LPS, yang tidak hanya menjamin simpanan bank seperti selama ini dilakukan, tapi juga menjamin polis asuransi. Penjaminan polis asuransi ini untuk melindungi pemegang polis asuransi dari dampak kegagalan perusahaan asuransi. Lembaga Penjamin Polis (yang diamankatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi) sudah delapan tahun tidak kunjung terbentuk, kini dipikul oleh LPS.
Untuk menjalankan tugas baru tersebut, LPS diberi waktu dua tahun dan harus menyiapkan kemampuan barunya untuk menangani kegagalan perusahaan asuransi. Namun, ada pasal yang membuat jajaran perbankan tidak happy, yaitu Pasal 85 ayat (2) yang menyebutkan, ”… Adanya pinjaman antarprogram (cross/inter borrowing fund), diharapkan LPS dapat memaksimalkan dana internal LPS untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam melaksanakan fungsi, dan wewenang LPS”. Sebab, selama 17 tahun mengumpulkan premi sebesar Rp172 triliun – bank sendiri tidak mudah menggunakan uangnya sendiri itu.
Akankah LPS menjadi “kuburan massal” asuransi yang warnai tata kelola dan kinerja yang amburadul? Benarkah UU P2SK akan menggerogoti independensi BI? Akankah status karyawan OJK akan menjadi Aparatur Sipil Negara mengingat anggaran OJK masuk ke dalam APBN? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 538 Februari 2023. (*)