Oleh Babay Parid Wazdi
SEJAUH ini kita mengenal UMKM sebagai salah satu usaha yang kerap dikaitkan dengan kemampuannya bertahan di situasi ekonomi sulit atau bahkan di saat krisis. Tidak berlebihan kiranya kita mengatakan seperti itu kepada UMKM, dalam hal ini pelaku UMKM. Itu mengingat, sebagai motor penggerak ekonomi, UMKM memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja.
Kendati demikian, bukan berarti bahwa menjalankan UMKM tidak memiliki risiko. Tak ubahnya pelaku usaha besar, pelaku UMKM juga dihadapkan pada sejumlah ketidakpastian, yang pada dasarnya akan sangat menentukan bagaimana pelaku UMKM menghadapi tantangan ekonomi agar mampu bertahan di tengah ketidakpastian dan tekanan.
Salah satu risiko yang di hadapi pelaku UMKM adalah risiko pasar. Risiko pasar bagi UMKM itu sendiri dibagi dalam beberapa kategori.
Satu, risiko perubahan suku bunga pinjaman atau biasa disebut dengan risiko tingkat suku bunga. Tidak sedikit pelaku UMKM yang mengandalkan pinjaman dari bank sebagai modal usahanya. Sehingga, di saat terjadi perubahan suku bunga, hal itu akan berdampak pada kemampuan finansial pelaku UMKM, baik dalam memenuhi kewajibannya membayar utang maupun kemampuan lain seperti mencetak laba.
Meskipun tidak semua pelaku UMKM memiliki kewajiban (membayar) utang, perubahan suku bunga ini tetap ada dampaknya, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pelaku UMKM. Baik itu dampak yang harus diterima oleh pelaku UMKM yang berutang maupun dampak lain yang akan diterima oleh pelaku UMKM yang tidak memiliki utang.
Baca juga: Menumbuhkan UMKM Berbasis Risk Acceptance Criteria (RAC)
Dampak langsung dari perubahan suku bunga, misalnya terjadi kenaikan, yang dirasakan pelaku UMKM yang memiliki utang yaitu akan ada penambahan kewajiban pembayaran utang yang akan memengaruhi cash flow perusahaan. Hal itu juga bisa menekan laba perusahaan atau berdampak pada kemungkinan kenaikan harga jual produk barang dan jasa.
Sementara, kalau terjadi penurunan suku bunga, maka hal itu akan memberikan kelonggaran pada kewajiban perusahaan dalam membayar utang. Yang nantinya akan berdampak signifikan terhadap harga barang ataupun jasa. Ini berpotensi menurunkan harga barang maupun jasa, yang pada akhirnya akan menimbulkan persaingan harga baru. Dan, itu bisa saja nantinya akan memicu penurunan kemampuan perusahaan dalam menciptakan laba.
Lalu, dampak tidak langsung yang akan dirasakan pelaku UMKM dari perubahan suku bunga, meksipun tidak memiliki utang atau pinjaman, adalah pada sisi pembentukan harga jual produk. Kenaikan maupun penurunan tingkat suku bunga pada dasarnya akan membentuk titik keseimbangan baru di pasar. Baik titik keseimbangan harga maupun titik keseimbangan daya beli masyarakat.
Sebagai ilustrasi, saat terjadi kenaikan harga daging ayam yang mencapai 40.000 per kilogram saat ini, dari biasanya 28.000 per kilogram. Bagi pelaku UMKM seorang pedagang, dan hanya menjual barang titipan dari pedagang besar – walaupun dia tidak memiliki utang – kenaikan harga itu akan menjadi pukulan. Sebab, akan terjadi penurunan penjualan daging ayam seiring dengan naiknya harga serta menurunnya daya beli konsumen.
Dalam hal ini, kenaikan harga daging ayam tersebut juga tidak lepas dari tren kenaikan suku bunga acuan yang terjadi dalam dua tahun belakangan ini. Dan, kenaikan suku bunga acuan juga telah menyebabkan kenaikan biaya input produksi yang memaksa kenaikan harga jual produk. Jadi, secara tidak langsung, pelaku UMKM yang tidak memiliki utang sekalipun akan tetap menerima dampak dari perubahan tingkat suku bunga itu sendiri.
Dua, risiko komoditas dari mekanisme pasar. Belakangan ini harga sejumlah kebutuhan hidup masyarakat mengalami kenaikan cukup tajam. Sejumlah komoditas pangan yang mengalami kenaikan serta bertahan mahal di 2024 sebut saja beras, minyak goreng, gula pasir, daging ayam, telur ayam, cabai rawit, cabai merah, kentang, tomat, dan sayur-sayuran lainnya.
Risiko komoditas ini juga memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelaku UMKM. Dampak langsung yang dirasakan saat terjadi gejolak kenaikan harga komoditas adalah kenaikan biaya input produksi yang memicu terjadinya kenaikan harga jual produk. Dan, dampak tidak langsungnya adalah penurunan penjualan, baik yang diakibatkan oleh substitusi ke produk lain maupun karena kenaikan harga itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, dampak langsung dari risiko komoditas yaitu kenaikan harga beras dan cabai yang telah membuat pelaku UMKM kuliner kesulitan untuk menyesuaikan harga jual nasi bungkusnya. Di kuartal ketiga dan keempat 2023, sejumlah rumah makan Padang menaikkan harga jual nasi bungkus Rp1.000 seiring dengan melonjaknya biaya input produksi.
Baca juga: Jebakan Utang Versus UMKM Naik Kelas
Dari sejumlah sampel rumah makan Padang yang menjual nasi bungkus Rp10.000 lengkap dengan lauknya, mereka secara serentak sempat menaikkan harga jual nasi bungkusnya sebesar 10% (Rp1.000 per bungkus) akibat tekanan dari kenaikan harga beras. Meskipun sempat kembali diturunkan setelah harga beras mengalami penurunan. Dan, penurunan harga jual tersebut nyatanya menekan pendapatan pelaku UMKM itu sendiri. Kenaikan harga jual produk pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan laba.
Ilustrasi lain yang menggambarkan kondisi riil di lapangan adalah pelaku UMKM penjual ayam penyet. Kombinasi kenaikan harga beras, daging ayam, cabai telah memicu kenaikan biaya input produksi yang luar biasa. Dampak langsungnya adalah penyesuaian (naik) harga jual ayam penyet untuk menghindari kerugian.
Sementara, dampak tidak langsungnya adalah konsumen mencari pengganti ayam penyet, seperti melakukan substitusi ke produk lainnya, atau justru mengurangi pembelian dan bahkan tidak membeli ayam penyet. Sehingga, kenaikan biaya input produksi justru diikuti dengan penurunan penjualan, yang akan bermuara pada penurunan omzet dan menekan laba.
Tiga, risiko komoditas yang diatur pemerintah. Selain komoditas yang umumnya terbentuk oleh mekanisme pasar, ada juga komoditas yang diatur pemerintah dan turut memicu terjadinya kenaikan biaya input produksi. Komoditas tersebut adalah komoditas energi, seperti BBM, gas, dan listrik. Pembentukan harga ketiganya di luar kemampuan pelaku UMKM untuk mengontrol.
Kenaikan komoditas tersebut justru memiliki peran besar terhadap pembentukan biaya produksi secara berkesinambungan. Artinya, di saat salah satu komoditas energi itu naik, maka kontribusi terhadap pembentukan harga jual akan terbentuk untuk waktu yang lama, dan hampir mustahil mengharapkan harganya turun. Berbeda dengan komoditas yang berfluktuasi, seperti komoditas pangan yang telah disebutkan sebelumnya. Di mana kenaikan biaya input akan menyesuaikan pergerakan harganya.
Empat, risiko ekuitas atau risiko modal. Dalam banyak literatur keuangan, risiko ekuitas kerap dihubungkan dengan harga instrumen mengacu pada instrumen di pasar keuangan, seperti saham. Jadi, pelaku UMKM juga berhadapan dengan risiko ekuitas, di mana risiko tersebut merupakan perbandingan antara keuntungan yang didapatkan dari perputaran modal dengan tingkat bunga bebas risiko perbankan.
Sebagai ilustrasi, seorang pedagang kuliner atau ayam penyet memiliki modal kerja sekitar Rp1 juta. Dari modal kerja tersebut, pelaku UMKM mendapatkan keuntungan Rp250.000 dalam satu hari. Atau sekitar 25%. Seiring dengan kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok belakangan ini, margin atau keuntungan pelaku usaha ayam penyet tersebut mengalami penurunan secara konstan.
Baca juga: Begini Strategi Jitu UMKM Berekspansi
Lima, risiko ketersediaan pasar. Sebagian besar pelaku UMKM masih berorientasi pada produk (product oriented). Belum market oriented. Hal yang pertama dipikirkan adalah bagaimana memproduksi barang, sedangkan pasar dipikirkan kemudian bahkan sering kali tidak terpikir. Pola pikir seperti ini akan mengakibatkan terjadinya risiko pasar bagi para pelaku UMKM karena barang yang diproduksi kurang diminati oleh pasar bahkan tidak laku terjual.
Tentunya ada banyak ilustrasi lain dari risiko pasar yang tidak dijelaskan dalam tulisan ini. Para pembina dan pelaku UMKM perlu melakukan upaya dan mengumpulkan informasi terkait dengan kemungkinan munculnya risiko pasar tersebut di masa yang akan datang. Seperti mengumpulkan informasi terkait dengan perubahan kebijakan suku bunga, perkembangan cuaca yang memengaruhi harga komoditas, perubahan harga-harga komoditas, mencari alternatif bahan baku yang lebih murah, serta perubahan lain yang dibutuhkan untuk memitigasi kemungkinan buruk terjadinya risiko pasar.
Bagi para pembina UMKM, baik di pemerintahan seperti Dinas UMKM maupun para bankir, memahami adanya risiko pasar bagi para UMKM menjadi sangat penting. Sehingga, kita dapat mencari solusi yang tepat untuk para pelaku UMKM, misalnya mencarikan pasar baru UMKM melalui ekosistem, bazar, maupun pasar digital seperti marketplace KeDan di Sumatra Utara, E-Order di Pemprov DKI, dan lain sebagainya.
Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Berkah dan Mulia”.
Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM.