Oleh Babay Parid Wazdi
MENJADI seorang pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kadang dihadapkan dengan berbagai risiko. Akibat risiko itu, pelaku UMKM bisa mengalami kerugian atau bahkan sampai memicu gulung tikar dan terjerat utang. Untuk itu, para pelaku UMKM sangat penting memahami risiko. Begitu juga dengan para pembina dan pembuat kebijakan yang berkaitan dengan UMKM.
Apa itu risiko? Risiko adalah potesi kerugian dan/atau kendala-kendala dalam usaha atau bisnis yang diakibatkan oleh suatu kejadian yang dapat merugikan atau berdampak negatif pada usaha. Sifat risiko itu bisa diperkirakan (expected) maupun tidak bisa diperkirakan (unexpected) sebelumnya. Tujuan memahami risiko adalah mendapatkan keuntungan dari hasil usaha atau bisnis yang kita kerjakan.
Risiko yang dapat diperkirakan (expected) adalah potensi risiko yang diakibatkan oleh banyak faktor terukur. Misalnya, kenaikan harga input produksi yang bisa memicu terjadinya kenaikan harga jual; human eror, baik yang dipicu karena kesalahan maupun akibat sumber daya manusia (SDM) yang kurang berpengalaman; lonjakan permintaan di momen-momen perayaan hari besar tertentu; penurunan produktivitas akibat sumber daya input yang terbatas; atau segala bentuk risiko yang pada dasarnya mampu diproyeksikan atau dikendalikan manusia.
Risiko yang dapat diperkirakan pada umumnya mampu diantisipasi atau diminimalisasi oleh pelaku UMKM. Tergantung pada kemampuan atau sumber daya yang dimiliki pelaku UMKM itu sendiri. Namun, tak jarang kita menemukan bahwa UMKM kesulitan untuk mengantisipasi risiko yang akan datang, walaupun pada dasarnya mudah diproyeksikan. Hal tersebut terjadi karena minimnya sumber daya yang dimiliki pelaku UMKM.
Yang paling sering dijumpai adalah kemampuan dalam menyediakan pasokan yang lebih banyak seiring dengan permintaan yang meningkat karena perayaan hari besar tertentu. Sehingga, pelaku UMKM kerap pasrah dengan tidak mampu berbuat banyak, yang pada akhirnya tak mampu memanfaatkan keuntungan potensial (potential gain) yang seharusnya bisa diraih.
Baca juga: Penguatan UMKM bagi Perekonomian Nasional
Selain risiko yang bisa diperkirakan (expected), ada risiko yang tidak dapat diperkirakan (unexpected), seperti gangguan cuaca, kecelakaan kerja, perubahan iklim, bencana alam, atau semua risiko di luar kemampuan manusia untuk mengendalikannya. Terkadang risiko yang tidak terduga ini disamakan dengan nasib yang harus diterima oleh pelaku UMKM.
Ketidakmampuan dalam memproyeksikan risiko yang tidak bisa diprediksi kerap memunculkan masalah yang tak terduga bagi pelaku UMKM. Namun, pada dasarnya pelaku UMKM harus bersahabat dengan risiko yang tidak mampu diperkirakan tersebut, seperti melakukan sejumlah upaya untuk meminimalisasi dampak kerusakan yang timbul. Beberapa upaya yang bisa dilakukan adalah membeli produk asuransi untuk tempat usaha, asuransi kesehatan, atau bentuk asuransi lain, maupun upaya lainnya yang bisa dilakukan.
Dalam tata kelola perbankan, kita mengenal 10 jenis risiko, yakni risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko investasi, dan risiko imbal hasil. Lantas, bagaimana pengembangan UMKM berbasis risiko? Apakah harus seperti perbankan? Tentu saja berbeda dan harus diimplementasikan sesuai dengan konteks UMKM.
Penting bagi para pembina UMKM maupun pelaku UMKM memahami jenis-jenis risiko yang berpotensi terjadi. Dan, dari pengalaman penulis selama membina pelaku UMKM, risiko pada dasarnya memiliki karakter yang sama. Namun, implementasinya bisa berbeda. Berikut ini sejumlah risiko yang harus dipahami pelaku UMKM.
Satu, risiko produksi. Risiko ini berkaitan dengan ketersediaan alat produksi dan bahan baku. Sebagai ilustrasi, bahan baku kedelai bagi UMKM produksi tempe dan tahu atau unsur-unsur pendukung, seperti pupuk bagi UMKM yang bergerak di sektor pertanian. Dalam risiko produksi juga terkandung risiko yang disebabkan oleh alam, seperti kekeringan, banjir, hujan angin, El Nino, La Nina, hingga bentuk bencana alam lainnya yang merupakan representasi dari perubahan iklim. Dengan kelangkaan bahan baku yang dipicu oleh cuaca dan penyakit, maka produksi akan terkendala, bahkan memicu terjadinya kegagalan.
Dua, risiko operasional.Risiko ini diakibatkan oleh kesalahan SDM dalam menjalankan usahanya. Misalnya, terjadinya kebakaran, gagal membuat adonan kue, salah dalam takaran atau dosis bumbu, dan banyak lagi penjabaran risiko operasional yang bisa lebih dijelaskan selanjutnya.
Tiga, risiko permodalan. Banyak pelaku UMKM yang dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan modal. Hal ini dipicu oleh terbatasnya akses ke perbankan. Sehingga, pelaku UMKM menjadi sulit berkembang, bahkan justru terjerat utang oleh rentenir. Risiko ini bisa mengakibatkan UMKM kesulitan dalam mengembangkan usaha, terlilit utang berbunga tinggi rentenir yang bisa bermuara pada kebangkrutan serta kehilangan aset.
Empat, risiko distribusi. Distribusi menjadi hal yang mesti diperhatikan para pelaku UMKM. Distribusi yang terlambat bisa menyebabkan gangguan serius atau bahkan fatal. Salah satu contoh, pengalaman penulis ketika memesan sejumlah makanan untuk sebuah acara, proses delivery terganggu sehingga makanan terlambat, yang seharusnya diagendakan untuk makan siang, malah menjadi makan sore.
Lima, risiko pasar. Setelah risiko produksi, modal, operasional, dan distribusi, terkadang pelaku UMKM mengalami kesulitan untuk menjual atau memasarkan barang-barang hasil produksi tersebut. Ketidaktersediaan pasar yang memadai menjadikan UMKM kesulitan dalam menjual barang dan jasanya. Atau, harga yang tidak mampu bersaing dengan barang sejenis yang ada di pasar.
Enam, risiko reputasi. Risiko ini diakibatkan oleh menurunnya kepercayaan para pelanggan atau para calon pembeli pada produk dan jasa UMKM tersebut. Sebagai contoh, adanya makanan yang kurang segar, rasa yang tidak standar, kualitas yang tidak seragam, kemasan yang kurang menarik, keluhan yang tidak ditangani secara baik, dan banyak lagi penjabaran lainnya.
Tujuh, risiko premanisme. Karena keterbatasan lokasi usaha, terutama di kota-kota besar, sering kali UMKM berjualan di tempat-tempat tertentu sehingga rawan terjadi pengusiran dan tindakan pemerasan, baik dari preman maupun oknum tertentu.
Delapan, risiko hukum. Risiko ini adalah risiko akibat tuntutan hukum. Hal ini sering dijumpai ketika pelaku UMKM melakukan kongsi dengan sesama pelaku UMKM lainnya. Melakukan kontrak kerja sama, perikatan jaminan kredit dengan bank atau bentuk kerja sama lain yang tidak dijabarkan. Tentunya, semua hal tersebut berkaitan dengan aspek yuridis.
Sembilan, risiko strategis.Risiko ini disebabkan karena keputusan yang kurang tepat atau kekurangtepatan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Misalnya, salah dalam memilih lokasi usaha atau kurang tepat dalam menentukan harga. Berdasarkan pengalaman penulis, sering para pelaku UMKM berganti bisnis. Misalnya, dari bisnis pakaian beralih ke bisnis sembako, dari penjual bakso menjadi penjual sayuran, dan banyak contoh kasus yang lain. Pada dasarnya, pergantian model bisnis ini mengandung risiko yang sering tidak disadari pelaku UMKM itu sendiri.
Sepuluh, risiko kepatuhan. Pelaku UMKM sudah semestinya patuh terhadap peraturan yang berlaku. Risiko kepatuhan adalah risiko akibat pelaku UMKM tidak melaksanakan peraturan yang berlaku, baik di internal maupun eksternal. Berkaitan dengan peraturan internal, sebaiknya pelaku UMKM didorong untuk memiliki peraturan internalnya sendiri. Agar, UMKM terbiasa untuk taat asas sehingga dapat mematuhi peraturan yang berlaku.
Pola pengembangan UMKM berbasis risiko ini merupakan metode baru dalam hal pengembangan UMKM di Indonesia. Dengan adanya pola pengembangan UMKM berbasis risiko, maka kita akan mendapatkan berbagai manfaat.
Baca juga: Begini Strategi Jitu UMKM Berekspansi
Pertama, akan adanya kesamaan arah antara pembina UMKM dan pelaku UMKM. Kesamaan arah dan frekuensi ini menjadi sangat penting dalam pembinaan dan pengelolaan UMKM. Sebagai contoh, ketika kita tidak memahami adanya risiko produksi pada UMKM, maka pola pengembangan UMKM menjadi terkendala.
Misalnya, pelanggan atau pembina melakukan pembelian dengan volume yang besar, seperti memesan 200 nasi kotak, sementara kapasitas atau kemampuan pelaku UMKM maksimal hanya 50 nasi kotak per hari. Permintaan yang mendadak besar tersebut dapat mengakibatkan UMKM terpapar risiko produksi, risiko delivery, dan risiko reputasi. Terkait dengan risiko produksi, kualitas produksi menjadi tidak standar, delivery dapat terlambat, dan pada akhirnya reputasi UMKM tersebut akan rusak. Dengan demikian, kita sebagai pembina UMKM harus menyelaraskan pengembangan UMKM tersebut berdasarkan risiko-risiko yang akan dihadapi UMKM.
Kedua,pola pembinaan UMKM menjadi lebih terstruktur, terkonsep, dan mudah diimplementasikan. Ketiga,para bankir dan koperasi yang akan memberikan kredit kepada para pelaku UMKM juga akan lebih mudah sehingga pengendalian kredit macet atau non performing loan (NPL) di sektor UMKM akan makin baik.
Akhir kata, mencintai UMKM itu berkah dan mulia.
Penulis adalah Direktur Utama Bank SUMUT dan pemerhati UMKM