Jakarta – Optimalisasi dana haji 2025 sebesar Rp188,86 triliun yang berada di bawah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) masih menghadapi berbagai tantangan. Padahal, jika dana haji dan umrah mampu dikelola dengan baik, potensinya besar untuk mendorong pembangunan ekonomi umat.
“Tantangan struktural dan kelembagaan dinilai masih menghambat optimalisasi dana yang kini mencapai Rp188,86 triliun,” ujar Penasihat Center for Sharia Economic Development, Institute for Development of Economics and Finance (CSED-INDEF) Profesor Murniati Mukhlisin, di Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025.
Saat ini, menurutnya, ada sekitar 4,2 juta pekerja sektor haji dan umrah, termasuk travel, katering, logistik, hingga UMKM, yang bergantung pada tata kelola dana tersebut.
Namun, investasi dana haji masih didominasi sektor konservatif, seperti deposito syariah, dengan imbal hasil relatif rendah.
“Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi defisit pembiayaan operasional penyelenggaraan haji yang pada 2024 tercatat Rp7,5 triliun,” jelasnya.
Baca juga: 1.000 Lebih Jemaah Umrah Telah Diberangkatkan Lewat Reksa Dana Haji Syariah
Lemahnya Koordinasi Kelembagaan
CSED-INDEF pun menyoroti lemahnya koordinasi kelembagaan akibat tumpang tindih peran antara Kementerian Agama, BPKH, dan operator haji.
Selain itu, belum adanya roadmap nasional haji dan umrah hingga 2045 juga dinilai membuat arah pengelolaan dana dan pelayanan haji tidak terintegrasi.
Pihaknya merekomendasikan agar pemerintah segera membentuk lembaga setingkat kementerian yang mengintegrasikan kebijakan regulasi, pelayanan, dan pengelolaan dana haji.
“Tak hanya itu, investasi dana haji perlu diarahkan ke sektor riil yang berdampak tinggi, seperti real estate halal, rumah sakit syariah, dan energi bersih,” bebernya.
Ia menegaskan, ke depan pengelolaan ibadah haji tidak bisa main-main. Sebab, carut marut penyelenggaraan haji seperti tahun lalu dan tahun ini, tidak boleh terjadi lagi.
“Penyelenggaraan ibadah haji tahun depan, tahun 2026, tidak bisa lagi main-main, tidak bisa lagi bercanda. Pemerintah, apalagi sekarang sudah terbentuk Badan Penyelenggara Haji, harus benar-benar serius. Jika hal ini tetap dilakukan, dampaknya bisa-bisa kuota haji Indonesia akan dikurangi oleh Pemerintah Arab Saudi,” ujarnya.
Baca juga: Ketua PP Muhammadiyah Dukung Pengelolaan Dana Haji Tetap di BPKH
Menurutnya, penetapan kuota haji sangat bergantung pada kepiawaian pemerintah dalam bernegosiasi dengan Arab Saudi. Ia menilai, dibatalkannya kuota haji furoda bagi jemaah Indonesia merupakan kegagalan pemerintah.
“Kuncinya memang terletak pada kemampuan negosiasi, terutama untuk haji dan umrahnya harus lebih kuat. Dengan adanya BP Haji, ada harapan besar bahwa tingkat negosiasi haji dan umrah akan menjadi lebih baik lagi,” ujarnya.
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Haji
Selain kuota, Murniati juga menyoroti pentingnya penguatan tata kelola dana haji dan umrah yang menuntut peningkatan akuntabilitas publik.
“Selama ini, informasi yang diberikan kepada publik bersifat terbatas dan teknokratik, sulit dipahami oleh masyarakat awam. Padahal dana haji bukan milik negara ataupun lembaga, melainkan milik jutaan rakyat Muslim yang memercayakan pengelolaannya dengan penuh harap dan iman. Keterbukaan informasi menjadi pilar penting dalam membangun kepercayaan dan legitimasi,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra









