Pengawasan Perasuransian Wajib Digenjot!

Pengawasan Perasuransian Wajib Digenjot!

Oleh Paul Sutaryono

KASUS perasuransian terus bergulir seperti PT Asuransi Jiwasraya pada 2018. Beberapa bulan lalu, muncul kasus unit link yang merupakan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI). Banyak nasabah mengeluh lantaran unit link yang digadang-gadang akan membawa keuntungan namun justru kebuntungan! Inilah titik kelemahan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjadi pelajaran berharga! Bagaimana alternatif solusinya?

Pada 2019, OJK menerima 360 pengaduan terkait dengan unit link. Setahun berikutnya, jumlah aduan melonjak 65% menjadi 593. Gara-gara polemik itu, ada 2,4 juta nasabah yang harus sampai tutup asuransi. Pada kuartal I-2021, pengaduan soal unit link dari nasabah mencapai 273 kasus.

Tidak hanya mengadu ke OJK, nasabah yang merasa ditipu juga melaporkan hingga ke DPR. Baru menginjak awal 2022, kasus unit link kembali menyeruak. Pada 17 Januari 2022, sebanyak 16 orang nasabah menggeruduk kantor PT Prudential Life Assurance, PT AIA Financial dan PT AXA Mandiri.

Bagaimana kisahnya hingga nasabah merasa tertipu dan merugi besar? Begini modelnya, asumsikan seorang nasabah menabung premi ke perusahaan asuransi X dengan besaran Rp1 juta per bulan untuk unit link. Agen biasanya juga melebih-lebihkan bahwa jika memilih unit link saham berpotensi dapat menghasilkan return besar per tahun katakan hingga 20% sehingga nasabah mengira cuan 20% tersebut pasti didapat padahal angka ini hanya asumsi sang agen.

Agen juga tidak menjelaskan bahwa sebenarnya dibalik pembayaran premi tersebut ada biaya akuisisi untuk pihak asuransi, management fee hingga komisi agen yang besarannya berbeda-beda selama beberapa tahun. Biasanya di tahun pertama, biaya akuisisi akan cenderung besar, baru turun di tahun kedua hingga kelima dan setelahnya tidak dikenakan biaya akuisisi. Asumsikan dalam kasus ini, biaya akuisisi di tahun pertama 50%, tahun kedua 40% kemudian tahun ketiga hingga kelima 15%.

Dengan skema awal premi R 1 juta per bulan dan return investasi 20% per tahun, maka seharusnya dalam setahun premi yang dibayarkan nasabah mencapai Rp12 juta. Namun ingat, ada biaya akuisisi 50%. Artinya, dari premi Rp1 juta per bulan, dana yang diputarkan untuk investasi hanya Rp500 ribu (CNBC Indonesia, 21/1/22).

Sejauh mana kinerja unit link? Selama setahun ini memang unit link sempat memberikan kinerja positif di Maret dan April 2022. Namun kini unit link kembali tertekan. Berdasarkan data Infovesta, imbal hasil unit link saham mengalami koreksi paling besar di Juni 2022 sekitar 5,49%. Mengikuti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang juga turun. Alhasil, secara year to date, imbal hasil unit link saham minus 3,22% (Kontan, 11/7/22).

Aneka Alternatif Solusi

Lantas, apa saja alternatif solusi untuk mengatasi kasus unit link itu? Pertama, kasus seperti itu kesalahan siapa? Banyak pihak. Perusahaan asuransi memegang peran penting dalam memberikan pengertian tentang unit link kepada nasabah melalui agen asuransi (agen). Agen diasumsikan telah diberikan pembekalan berupa pelatihan terutama unit link. Celakanya, ketika agen hanya memberikan pengertian kepada nasabah tentang keuntungan produk tanpa penjelasan potensi risikonya.

Untuk itu, agen sudah seharusnya wajib menjelaskan bukan hanya mengenai jenis dan besaran biaya yang bakal dibebankan kepada nasabah. Tetapi agen juga wajib menjelaskan besaran dana yang akan diinvestasikan.

Kedua, agen pun sudah semestinya telah memperoleh lisensi dari asosiasi perusahaan asuransi yakni Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Menurut AAJI, dari 600.000 agen asuransi jiwa yang memiliki lisensi terdapat sekitar 200 agen asuransi yang dilaporkan bermasalah (Kontan, 29/1/22). Apa manfaat lisensi itu? Lisensi itu penting bagi agen untuk menunjukkan bahwa agen memiliki kompetensi untuk memasarkan produk asuransi. Pada umumnya, (calon) nasabah tidak mengetahui apakah seorang agen itu memiliki lisensi atau kode lisensi.

Ketiga, karena itu, nasabah dapat menghubungi perusahaan asuransi untuk melakukan pengecekan apakah seorang agen telah memiliki lisensi atau belum. Kemudian kode lisensi itu dapat dicek di laman AAJI.

Ada beberapa istilah seperti “agen” “tenaga pemasar” dan “tenaga pemasar non agen”. Menurut Standar Praktik dan Kode Etik Tenaga Pemasar Asuransi Jiwa pada Keputusan RAT AAJI Nomor 03/AAJI/2012, “Agen” adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa pemasaran produk asuransi jiwa untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi Jiwa. ”Tenaga Pemasar” adalah Agen dan Tenaga Pemasar Non Agen. “Tenaga Pemasar Non Agen“ adalah seseorang selain Agen yang bekerja untuk suatu pihak yang memiliki kerjasama pemasaran produk asuransi jiwa dengan Perusahaan Asuransi Jiwa dan bertugas untuk memasarkan produk asuransi jiwa. Dengan bahasa lebih bening, (calon) nasabah wajib mengetahui istilah itu.

Keempat, selama ini dana unit link diinvestasikan di deposito, obligasi, saham dan atau pasar uang. Agen wajib memberitahukan dan minta persetujuan nasabah untuk setiap penempatan dana ke suatu instrumen investasi.

Kepada nasabah, agen pun wajib menjelaskan aneka instrumen investasi dan tingkat risiko instrumen yakni tinggi, sedang atau rendah. Deposito dan obligasi itu berisiko lebih rendah sedangkan saham dan pasar uang berisiko lebih tinggi. Mengapa? Lantaran nasabah memiliki profil risiko yang berbeda. Ada nasabah yang berani menghadapi risiko tinggi (risk taker). Tetapi ada pula nasabah yang memiliki profil risiko sedang (moderat) dan bahkan takut menghadapi risiko (risk averse).

Kelima, tetapi nasabah wajib membaca setiap pasal polis unit link. Biasanya, nasabah percaya saja penjelasan agen sehingga tidak membaca pasal demi pasal polis asuransi. Padahal, hal itu penting dan mendesak untuk menepis potensi risiko finansial.

Keenam, unit link juga dipasarkan melalui bank yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi (bancassurance). Karena itu, petugas bank pun wajib menguasai produk itu. Meskipun dipasarkan oleh bank, namun unit link itu tetap produk perusahaan asuransi. Kerja sama itu akan mendatangkan margin bagi bank sebagai pendapatan dari komisi (fee-based income) yang gurih.

Ketujuh, apakah perlu dilakukan moratorium unit link? Ada beberapa hal yang layak dipertimbangkan.

Pendapatan premi unit link terhadap pendapatan premi asuransi jiwa menebal dari 48,02% per Desember 2019 menjadi 49,33% per Desember 2020 dan kemudian melesat 68,48% per September 2021 (Infobank, Januari 2022). Data itu menegaskan kontribusi pendapatan premi unit link terhadap pendapatan premi asuransi jiwa selama 3 tahun terakhir terus mendaki. Sarinya, moratorium unit link dapat menggerus pendapatan premi perusahaan asuransi.

Perbaikan Tata Kelola

Kedelapan, untuk itu, OJK perlu segera membenahi tata kelola unit link. Untunglah, OJK telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi Yang Diterbitkan dengan Investasi. Aturan baru yang efektif 14 Maret 2022 tersebut bertujuan untuk mendorong perbaikan pada 3 aspek utama yakni praktik pemasaran, transparansi dan tata kelola aset PAYDI.

Namun, sosialisasi dan edukasi juga diperlukan untuk mengerek tingkat literasi keuangan publik. Hal itu dapat bermanfaat untuk menekan kasus.

Kesembilan, ada kabar gembira! Kini pemerintah dan DPR sedang mematangkan Omnibus Law Sektor Keuangan. Ada rencana untuk memperluas tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin polis asuransi. Hal itu bertujuan untuk untuk melindungi nasabah perasuransian. Ujungnya, Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS harus segera direvisi dalam Omnibus Law Sektor Keuangan.

Kesepuluh, untuk menepis potensi risiko, sejatinya nasabah dapat memilih instrumen investasi yang terpisah dari asuransi jiwa. Ada aneka instrumen investasi seperti deposito, saham, obligasi, reksadana, emas batangan dan properti. Ada pula program pensiun yang disebut Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Dana itu dikelola dan dikembangkan dalam pelbagai instrumen investasi secara profesional dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.

Ambil DPLK BNI (BNI Simponi) sebagai contoh. Peserta hanya mengiur minimal Rp 50.000 per bulan dan akan memperoleh pengembangan tiap bulan. Setelah memasuki usia pensiun, peserta mendapatkan manfaat pensiun bulanan seumur hidup setelah membeli anuitas. Mengapa? Karena manfaat pensiun itu dapat diteruskan kepada ahli waris (janda atau duda dan sampai anak yang terkecil sebelum berusia 25 tahun atau belum menikah atau belum bekerja).

Investasi dapat ditentukan sendiri oleh peserta sesuai dengan paket investasi yang tersedia. Ada beberapa paket investasi. Paket-1 Simponi Likuid: 100% deposito atau pasar uang. Paket-2 Simponi Likuid Plus: 75% deposito dan atau pasar uang dan 25% obligasi. Paket-3 Simponi Likuid Syariah: 100% deposito syariah, pasar uang syariah atau obligasi syariah.

Ada pula paket-4 Simponi Moderat: 50% deposito dan atau pasar uang dan 50% obligasi. Paket-5 Simponi Berkembang: 50% deposito dan atau pasar uang dan 50% reksadana dan atau saham. Paket-6 Simponi Berkembang Syariah: 50% deposito syariah, pasar uang syariah dan atau obligasi syariah dan 50% reksadana syariah. Paket-7 Simponi Progresif: 50% obligasi dan 50% reksadana dan atau saham.

Walhasil, sengkarut unit link amat diharapkan dapat teratasi dengan saksama. Kasus itu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi Dewan Komisioner OJK yang baru.

*) Penulis adalah Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI

Related Posts

News Update

Top News