Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Februari 2024 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta orang. Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2024 mencapai 4,82 persen.
Jumlah tersebut menurun sekitar 790 ribu orang dari periode yang sama tahun sebelumnya dengan TPT 5,45 persen. Kendati demikian, angka pengangguran masih dinilai tinggi, apalagi kalau dilihat angka setengah menganggur jumlahnya sebanyak 12,11 juta orang.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto mengatakan memiliki sejumlah solusi yang dapat ditempuh pemangku kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Teguh merinci, untuk mereduksi masalah pengangguran dan setengah menganggur, link and match dunia pendidikan dengan industri perlu diperkuat serta penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas.
Dia menilai, link and match mungkin tidak terlalu bermasalah bagi universitas ternama seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, kata dia, Indonesia bukan hanya UI, ITB dan UGM saja, tetapi ada ribuan perguruan tinggi lain yang mencetak jutaan tenaga kerja baru yang sulit terserap di pasar kerja.
“Perlu dipikirkan bagaimana mendorong penciptaan lapangan kerja baru serta link and matchini benar-benar bisa berjalan dengan baik,” ujar Teguh dalam keterangan resmi, Rabu 3 Juli 2024.
Baca juga: Ekonomi RI Tumbuh 5,11 Persen di Kuartal I 2024, Sri Mulyani: Mampu Turunkan Pengangguran
Penguatan link and match menjadi penting. Sebab, ketika pihaknya berinteraksi dengan dunia bisnis, tak jarang yang menjadi topik pembahasan adalah kesulitan mencari talent yang berkualitas. Namun di sisi tenaga kerja, sering kali disampaikan bahwa lapangan kerja tidak mencukupi.
Intinya, kata Teguh, dalam hal ini antara strategi transformasi ekonomi yang ditempuh dengan dunia pendidikan tidak sinergi. Dia mencontohkan kebijakan hilirisasi nikel yang membutuhkan banyak ahli metalurgi. Namun di sisi lain, lulusan metalurgi berkualitas di Tanah Air dinilai masih kurang.
“Artinya memang harus ada keselarasan antara transformasi ekonomi, perencanaan ekonomi jangka panjang, dengan bagaimana dunia pendidikan. Ini yang utama selain link and matchtadi. Memang dalam konteks besarnya adalah keselarasan antara apa perencanaan ekonomi dengan bagaimana dunia pendidikan itu bergerak memenuhi kebutuhan dunia kerja,” katanya menekankan.
Kemudian, menurut Teguh, pemerintah juga harus fokus bukan saja meningkatkan akses ke pendidikan tapi dibarengi pula dengan peningkatan kualitasnya. Banyak terjadi perguruan tinggi mencetak banyak lulusan yang tidak dibarengi dengan kompetensi di pasar kerja. Pendidikan berkualitas akan mengurangi masalah link and match tersebut.
Oleh karena itu, solusi utamanya memang tidak bisa hanya jangka pendek. Namun jangka menengah dan jangka panjang. Adapun solusi jangka pendek, lanjut Teguh, bisa ditempuh seperti melalui program kartu prakerja dari pemerintah. Program tersebut pun perlu penyempurnaan dan dilanjutkan oleh pemerintah mendatang.
“Itu mungkin salah satu dari sebuah solusi yang bisa digunakan. Tetapi yang kita dorong juga bukan hanya ada situs dan pelatihan daring dan luring, tetapi setelah pelatihan ini nanti dia kerjanya seperti apa. Harus komprehensif tidak hanya berlatih atau dilatih saja. Tetapi setelah dilatih juga ada penyerapan dan penyerapannya seperti apa,” ungkapnya.
Baca juga: Masa Kerja Tinggal 5 Bulan, Jokowi Hanya Mampu Turunkan Kemiskinan 2,22 Persen
Berikutnya pemerintah perlu memberikan semacam insentif atau tax holiday bagi perusahaan-perusahaan yang mampu menarik banyak tenaga kerja atau industri padat karya. Artinya, insentif jangan hanya diberikan kepada yang berminat investasi saja. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi terkait pemanfaatan kebijakan super tax deduction bagi dunia usaha dan industri untuk melakukan kerja sama pelatihan/training.
Dengan demikian, kata dia, generasi muda atau angkatan kerja dapat terserap maksimal dan berkontribusi terhadap ketahanan bangsa.
“Generasi muda jangan sampai mereka frustasi. Jangan menjadi beban ke depan sehingga bonus demografi itu hanya isu, hanya jargon atau kesempatan saja. Tapi harus diwujudkan jadi nyata untuk kemajuan bangsa,” pungkas Teguh. (*)
Editor: Galih Pratama