Poin Penting
- Kebijakan Presiden Prabowo yang membuka peluang WNA jadi direksi BUMN dinilai bertentangan dengan UU No. 16/2025 yang mewajibkan direksi persero berstatus WNI.
- Pengamat menilai kehadiran ekspatriat berpengalaman dapat memperluas jaringan bisnis global, memudahkan kemitraan, dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap BUMN.
- Perbedaan kultur manajerial dan potensi intervensi politik dikhawatirkan menghambat pengambilan keputusan strategis dan menimbulkan konflik kepentingan di tubuh BUMN.
Jakarta – Kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto yang membuka peluang bagi warga negara asing (WNA) untuk duduk sebagai petinggi di badan usaha milik negara (BUMN) menuai sorotan. Pasalnya, langkah ini dinilai berpotensi berbenturan dengan regulasi yang masih berlaku, terutama Undang-Undang (UU) BUMN.
Direktur NEXT Indonesia Center sekaligus pengamat BUMN, Herry Gunawan, menilai masuknya ekspatriat untuk mengisi posisi strategis tersebut memiliki peluang yang cukup bagus dan berpotensi besar meningkatkan reputasi perusahaan hingga ke kancah global.
Apalagi jika ada WNA yang memiliki segudang pengalaman internasional di sektor usaha yang tengah digarap.
“Hal ini akan memudahkan BUMN masuk dalam eksosistem bisnis global, mudah mencari mitra, serta meningkatkan kepercayaan investor,” ujarnya, kepada Infobanknews, Jumat, 17 Oktober 2025.
Sebab, menurutnya ekosistem industri tak hanya sekadar menilik kinerja perusahaan, tetapi juga menganalisis orang-orang yang memimpinnya, terutama dari sisi reputasi.
Baca juga : DPR Setuju WNA Jadi Direksi BUMN Asal Penuhi Tiga Syarat Berikut
Meski demikian, dirinya tak menampik akan ada sederet dampak negatif yang ditimbulkan. Misalnya saja, benturan kultur, utamanya dengan organisasi di bawah direksi. Hal ini menyebabkan lambatnya keputusan yang diambil.
“Bisnis boleh sama, tapi kultur pengolaannya bisa berbeda. Apalagi di Indonesia dengan birokrasi di BUMN yang berbelit, seperti ada Danantara dan BP BUMN. Jadi, keputusan pun harus melalui persetujuan lembaga di atas BUMN,” tegasnya.
Apalagi, lanjut Herry, jika direktur utama BUMN tersebut bukan berasal dari kalangan profesional, melainkan jalur meritokrasi alias titipan partai politik tertentu atau pendukung pemilihan presiden.
“Dampaknya berat, kalau terlalu campur tangan dalam proses dan keputusan korporasi yang fundamental dan penting, misalnya transformasi. Peluang benturan kepentingannya sangat besar kalau titipan,” bebernya.
Terbentur Aturan
Aturan penempatan ekspatriat menjadi pimpinan BUMN pun turut dipertanyakan. Hal ini usai Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan telah mengubah aturan terkait hal tersebut.
Prabowo mengungkapkan, aturan yang sebelumnya mensyaratkan pemimpin BUMN harus Warga Negara Indonesia (WNI) telah diubah.
Baca juga : Rosan Pastikan Tak Sembarangan Angkat WNA Jadi Petinggi BUMN
Kondisi ini, kata Herry, bisa menjadi preseden buruk dalam pengelolaan BUMN ke depannya. Sebab, dinilai telah melanggar terhadap undang-undang.
“Saat ini merupakan pelanggaran terhadap UU, sehingga menjadi preseden buruk dalam pengelolaan BUMN,” jelasnya.
Apalagi dalam UU No. 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 19 Tahun 2023 tentang BUMN, tepatnya Pasal 15A menyebutkan bahwa direksi persero wajib WNI.
“Dalam UU BUMN 16/2025 jelas harus WNI. Mungkin Prabowo lupa,” pungkasnya.
Diketahui, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), PT Garuda Indonesia (Persero), telah menunjuk dua WNA sebagai direksi, yakni Balagopal Kunduvara sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, serta Neil Raymond Mills sebagai Direktur Transformasi.
Balagopal sebelumnya menjabat Divisional Vice President Financial Services di Singapore Airlines (2021–2025).
Sementara Neil Raymond merupakan Konsultan Penerbangan di NM Aviation Limited (2022–2025) dan Chief Procurement Officer and Head of Transformation di Scandinavian Airlines (2024–2025). (*)
Editor: Galih Pratama









