Jakarta – Buruknya kualitas udara perkotaan sebetulnya sudah berlangsung lama. Namun belakang, kondisinya polusi udara kian memburuk dan memberikan dampak bagi kesehatan, misalnya penyakit gangguan pernapasan hingga kerusakan fungsi paru-paru.
Lazimnya, pencemaran polusi udara di Jakarta meningkat saat musim kemarau, yakni pada Juni-Agustus 2023. Sumber polutan terbesar dari sektor transportasi sebesar 44 persen, dan sektor industri 31 persen.
Di satu sisi, isu transportasi berkelanjutan tampak diabaikan dan tidak dilakukan dengan serius oleh pemerintah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022, ada sekitar 25,5 juta kendaraan bermotor yang terdaftar beroperasi di DKI Jakarta.
Baca juga: Kualitas Udara Kian Memburuk, Jokowi Dorong Perkantoran Terapkan WFH
Di mana, sebanyak 78 persen di antaranya merupakan sepeda motor. Sepeda motor menghasilkan beban beban pencemaran polusi udara per penumpang paling tinggi dibandingkan mobil pribadi bensin dan solar, mobil penumpang, serta, bus.
“Efisiensi kendaraan sangat penting. Jadi, kalau naik bus, kontribusi pada CO2 akan lebih kecil dibandingkan sepeda motor dan mobil pribadi,” kata Pengamat Transportasi Publik Djoko Setijowarno, kepada Infobanknews, Selasa (15/8).
Menurutnya, kebijakan yang dimunculkan sepertinya berjalan sendiri-sendiri dan nantinya juga tidak berlangsung lama. Tidak berani mengungkap kebijakan ERP (electronic road pricing) di Kota Jakarta dapat menjadi kebijakan penting dan utama.
Sementara kota-kota penyanggah, seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok tidak banyak dilakukan upaya membenahi transportasi umumnya. Bus Trans Pakuan baru beroperasi di Kota Bogor. Ribuan kawasan perumahan yang tersebar di Bodetabek masih minim sentuhan layanan transpportasi umum.
Kebijakan satu paket membangun kawasan perumahan dan layanan fasilitas angkutan umum sudah tidak dilakukan lagi. Akhirnya, membeli rumah juga harus memikirkan membeli kendaraan pribadi agara mobilitas warga menjadi lancar.
“Beban hidup makin bertambah, lantaran penghasilan setiap bulan yang didapat tidak hanya untuk mengangsur cicilan rumah namun juga untuk kendaraan pribadi,” jelasnya.
Baca juga: Dari Driver Ojol, Menteri, hingga Jokowi jadi Korban Buruknya Kualitas Udara
Skema Insentif Kendaraan Listrik
Sebetulnya kata dia, negara memiliki angggaran yang cukup untuk membereskan buruknya kualitas udara di perkotaan. Di mana, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian memiliki skema insentif kendaraan listrik untuk tahun 2023 dan 2024 sebesar Rp 12,3 triliun.
Insentif itu diberikan Rp5,6 triliun untuk 800.000 unit motor listrik, Rp6,5 triliun untuk 143.449 unit mobil listrik dan Rp 192 miliar untuk pembelian 552 unit bus listrik.
Pada 2023, pemerintah memberikan insentif sepeda motor listrik sebesar Rp 1,4 triliun untuk 200.000 unit. Jumlahnya pun melonjak menjadi Rp4,2 triliun untuk 600.000 unit pada tahun 2024.
Adapun insentif mobil listrik tahun 2023 Rp1,6 triliun untuk 35.862 unit dan tahun 2024 Rp4,9 trilun untuk 107.587 unit. Insentif pembelian bus listrik tahun 2023 Rp48 miliar dibelikan 138 unit dan tahun 2024 sebanyak Rp144 miliar dibelikan 414 unit.
Menariknya, di mancanegara yang memiliki kebijakan subsidi kendaraan listrik bagi kendaraan pribadi, setelah kondisi layanan transportasi umumnya juga sudah bagus.
Baca juga: Asap Kendaraan Biang Kerok Udara Memburuk, Kendaraan Listrik Bisa jadi Solusi
Lain halnya dengan di Indonesia yang sekarang sedang mengalami krisis angkutan umum dan krisis kecelakaan lalu lintas. Tentunya, kebijakan kendaraan listrik turut dapat menurunkan atau mengurangi kedua krisis tersebut.
“Bukannya, justru dengan kebijakan insentif itu akan menambah masalah baru lagi, yakni kemacetan lalu lintas,” bebernya.
Hal tersebut kata dia karena kurangnya koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Dalam Negeri dalam membuat kebijakan untuk menyelesaikan persoalan polusi udara perkotaan tidak pernah tuntas.
“Masing-masing kementerian bergerak dengan caranya sendiri tanpa memperhatikan data dan fakta yang sebenanya terjadi. Akhinrya, anggaran negara menjadi tidak tepat sasaran,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama