Jakarta – Digitalisasi di era sekarang ini adalah sebuah keniscayaan. Penerapan teknologi membawa model bisnis baru yang menguntungkan bagi perusahaan dan juga nasabah. Digitalisasi ini mendukung kemudahan dan kecepatan yang menjadi gaya hidup yang dipilih para millennial.
Penerapan teknologi digital di asuransi lebih jauh diharapkan dapat mendorong penetrasi asuransi di Indonesia yang masih relative rendah. Melalui produk-produk asuransi yang lebih simple, dan klaim yang bisa dilakukan secara digital, diharapkan dapat menepis kesan bahwa asuransi rumit dan sulit diklaim.
Digitalisasi di asuransi kini diwarnai oleh makin maraknya kehadiran insurtech yang focus menawarkan produk dan layanan asuransi yang bisa diakses dengan platform digital. Insurtech yang kita kenal umumnya adalah seperti pemasaran asuransi melalui platform digital.
Karena kemudahannya itulah, jalur distribusi ini dirasa sangat tepat untuk mendorong penetrasi asuransi. Keuntungan lainnya, adalah insurtech dapat meminimalkan biaya asuransi sehingga lebih efeisien. Pemasaran asuransi secara digital juga lebih efektif dalam proses bisnis asuransi.
M. Ihsanuddin selaku Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II OJK mengatakan, literasi asuransi pertumbuhannya masih lambat, serta densitas dan penetrasi juga masih rendah. Untuk IKNB, tambahnya, yang tumbuh cukup pesat adalah pegadaian dan fintech. Ihsanuddin juga mengatakan, ditengah kondisi ekonomi yang saat ini mengalami kontraksi memang agak sulit untuk memasarkan asuransi.
“Selama ekonomi belum membaik, atau income masyaraat belum pulih, dan industry asurasi belum sehat, tidak mudah memasarkan asuransi. Apalagi dengan model bukan face to face” ujarnya dalam acara InfobankTalkNews Media Discussion bertema “Peluang dan Tantangan Asuransi di Era Digital” yang dilaksanakan, di Jakarta, Kamis, 30 Juli 2020.
Senada, Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute menyatakan, Insurtech untuk saat ini baru sebatas potensi, namun memiliki potensi yang sangat besar. “Asuransi akan baik kalau ekonominya baik, namun ekonomi sendiri saat ini masih terkontraksi” ujarnya.
Menurutnya, asuransi saat ini masih dibayangi risiko reputasi akibat gagal bayar yang terjadi di beberapa asuransi. Karena itu, tambahnya, harapannya OJK dapat mengatur lebih prudent industry asuransi ini dengan pendekatan risk.
“Saya berharap OJK sudah mulai membuat beberapa aturan, bukan mengetatkan tetapi memang asuransi harus diatur lebih ketat dan lebih jelas. Karena asuransi juga menjaring dana masyarakat,” imbuhnya.
Sementara itu, Bianto Surodjo, Director & Chief of Partnership Distribution Officer PT Asuransi Allianz Life Indonesia menambahkan, business digital diakui membantu asuransi untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas. Menurutnya, pesatnya perkembangan pada payment system akan diikuti pula oleh asuransi. “Mungkin Perjalanan asuransi akan mengikuti jejak payment ini, hanya start poinnya saja yang berbeda,” ucapnya.
Ia menambahkan, jika mau berkembang lebih cepat, maka asuransi harus memasukkan ekosistem digital. “Di Asuransi umum sudah berjalan, menempelkan asuransi perjalanan ke platform perjalanan. Allianz juga sudah memulai menerapkan ini dengan bekerja sama dengan bukalapak misalnya, untuk menawarkan asuransi kesehatan dan jiwa” jelas dia.
Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet yang besar dan sangat aktif terutama oleh para kaum millenial, insurtech tentu menjadi solusi dalam mendorong penetrasi dan pertumbuhan asuransi di Indonesia. Berdasarkan data OJK, jumlah asset asuransi sampai dengan Mei 2020 mencapai Rp1.313 triliun, tumbuh 1,43% secara year on year. Pangsanya mencapai 53,02% dari total asset IKNB yang mencapai Rp2.476 triliun. (*)
Editor: Rezkiana Np