Jakarta – Ketidakterbukaan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam menerbitkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk komoditas bawang putih dengan total volume 103.000 ton, menuai kritik. seharusnya Kementan tidak melakukan impor tergesa-gesa, untuk mengesampingkan dugaan-dugaan adanya kepentingan tertentu, termasuk politik.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Darori Wonodipuro mempertanyakan ketidaktransparanan Kementan dalam pemberian RIPH. Padahal, menurutnya persoalan ketidaktransparanan itu juga menjadi pemicu kegaduhan saat DPR mengundang berbagai pihak, termasuk asosiasi terkait bawang putih.
“Nah itukan diributin waktu kita ngundang asosiasi. Jadi RIPH nya pilih-pilih tidak transparan. Banyak yang tidak dapat. Harusnya transparan terbuka saja. Waktu RDP asosiasi pada protes. Perusahaan yang bagus dikasih, yang tidak bagus, jangan,” kata Darori kepada wartawan, seperti dikutip di Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020.
Menurutnya, Kementan seharusnya juga berbincang bersama dengan asosiasi untuk menelisik perusahaan yang mengajukan RIPH. Kementerian dinilainya kurang tegas dalam pengawasan. “Jadi, kementan harus transparan dan terbuka,” pungkasnya.
Selain itu, DPR juga menilai ada peraturan Menteri yang aneh. Perubahan peraturan menjelang pergantian Menteri harusnya ditelisik dan diklarifikasi penerapannya terhadap importir. “Harusnya kan importir wajib menanam 5% dari rencana. Nah, sekarang terbalik. Nanamnya nanti. Kalau saya usulkan ada jaminan dalam tanaman bawang. Jadi importir deposit uang seluas rencana tanamannya.” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi di kesempatan berbeda, mendesak Kementan untuk transparan menerangkan, bukan saja soal urgensi impor, tapi juga perusahaan pengimpor. Ia menukas, transparansi sangat perlu untuk menegaskan ada-tidaknya kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik.
Untuk itu, Uchok minta pemerintah terbuka kepada publik. Ia juga mendesak KPK menyelidiki impor tersebut. “Harus ada pengawasan dari KPK atas pemberian RIPH agar pengambilan keputusan ini bukan untuk mengakomodir kepentingan, misalnya partai politik,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami mengatakan, proses RIPH bawang putih sudah diajukan para importir sejak pertengahan November 2019 lalu. Menurut Liliek, keluarnya RIPH 103 ribu ton bawang itu juga bukan keputusan dadakan.
Ia mengaku, penerbitan RIPH bukan tiba-tiba karena ada rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan dan Kantor Staf Presiden pada Kamis (6/2/2020) lalu. “Kami memproses (RIPH) sejak 15 November 2019, jadi tidak serta merta dikeluarkan,” ucapnya.
Sedangkan untuk daftar importir yang memiliki kuota, serta besarannya, ia mengaku tidak memegang datanya secara detail.
Di kesempatan berbeda, pengamat Ekonomi Muliadi Widjaja menilai ada yang kurang pas dengan impor ini. Kementan bisa dianggap lebih membela importir daripada petani. Harusnya, kata dia, kalau pro petani tidak perlu impor di kala stok masih dinyatakan cukup.
Dia pun menduga ada kepentingan politik dari parpol turut serta dalam penunjukan importir. Dugaan itu menurutnya wajar mengemuka lantaran petani selalu ‘kalah’ dengan importir. “Importir selalu dimenangkan pemerintah daripada petani, karena ada dugaan setoran importir kepada partai,” tutupnya. (*)