Oleh Karnoto Mohamad
KEMENTERIAN BUMN baru saja merombak direksi Garuda Indonesia. Pahala N Mansury yang menjadi chief executive officer (CEO) sejak April 2017 diganti I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara yang memimpin Pelindo III. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Pahala N Mansury yang baru 17 bulan memimpin diganti di tengah jalan? Jika Pahala dianggap gagal, toh selamaperiode yang singkat memimpin sudah ada tanda-tanda keberhasilan. Kerugian Garuda sudah berkurang 60% di tengah kenaikan harga avtur 50% dibanding tahun lalu. Wajar ketika ditanya wartawan mengapa dirinya diganti, Pahala pun menjawab, “tanyakan kepada pemegang saham”.
Kepada wartawan Rini Soemarno mengatakan bahwa alasan perombakan direksi BUMN seperti terjadi di Garuda karena mempertimbangkan kecocokan keahlian dari orang-orang yang ditugaskan memimpin perusahaan BUMN. Apa yang disampaikan Rini sejalan dengan apa yang diinginkan Serikat Pekerja (SP) Garuda yang sejak awal 2018 menuntut pergantian direksi, bahkan Asosiasi Pilot Garuda beberapa kali mengancam mogok terbang. Mereka meminta direksi yang memahami bidang penerbangan. Entah Kementerian BUMN merombak direksi Garuda karena mengamini apa yang dituntut SP Garuda, atau mengganggap pihaknya memang tidak cermat dalam menempatkan CEO di Garuda. Yang jelas, menjadi preseden buruk bagi para professional yang memimpin BUMN kalau SP sudah bisa menentukan perombakan direksi di BUMN, yang merupakan domain pemegang saham.
Masalah kinerja keuangan Garuda memang berat dan harus diatasi. Agar bisa mencetak untung, Garuda harus melakukan efisiensi hingga US$100 juta dan sudah pasti kebijakan tidak populer harus dilakukan Garuda. Tapi kondisi Garuda saat ini jauh lebih baik dari 1998. Sekarang Garuda masih memiliki ekuitas sekitar Rp12 triliun dan masih menyadang maskapai bintang lima. Bandingkan dengan kondisi 1998 yang mengalami negative networth dan reputasinya sangat buruk. Utangnya menggunung dan sudah enam tahun merugi. Dengan besaran utang yang lebih besar dari asetnya, Garuda dihadapkan kepada lonceng kematian. Para kreditor mengancam akan membangkrutkannya.
Namun, pemerintah menganggap Garuda harus diselamatkan. Presiden Soeharto kemudian menugaskan Tanri Abeng selalu Menteri Pemberdayaan BUMN untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Tanri berpikir bahwa Garuda yang sedang mengalami krisis harus dipimpin oleh seorang CEO sangat berpengalaman yang diyakini pasti mampu menyelesaikan krisis. Maka Tanri mendekati Robby Djohan yang saat itu baru berhasil membereskan krisis di Bank Bumiputera bersama Agus Martowardojo.
Robby Djohan bukan sosok yang disukai Presiden Soeharto, karena cenderung susah diatur dan waktu mudanya aktif di organisasi kemahasiswaan yang pro Soekarno. Tetapi dalam konteks korporasi atau menyelesaikan krisis, penunjukkan CEO itu bukan atas dasar suka atau tidak suka. Penunjukkan CEO harus didasarkan trust factor apakah dia mampu merealisasikan apa yang menjadi keinginan pemilik perusahaan atau tidak. Saat itu, keinginan pemerintah adalah bagaimana Garuda bisa sehat kembali, kompetitif di pasar dan tidak membebani negara. Terbukti, Robby Djohan yang tidak berpengalaman di bidang airlines berhasil membuat turn around dalam waktu 6 bulan.
Ada dua pelajaran yang bisa dipetik. Satu, penugasan kepada seorang profesional yang akan berhasil memperbaiki perusahaan BUMN yang sedang krisis, seharusnya bukan bagian dari pemberian kesempatan karir, apalagi sekedar uji coba apakah yang keahliannya bisa diterapkan di sana. Tapi, itu lebih karena kemampuannya yang sangat dibutuhkan dan kesediaan seseorang untuk menyelesaikan krisis di sebuah perusahaan BUMN adalah sebuah dedikasi yang tulus, bukan karena kepentingan karir atau imbalan gaji. Bayangkan, Robby Djohan yang saat memimpin Bank Niaga sampai 1994 dibayar US$1,8 juta setahun atau Rp300 juta per bulan dengan asumsi kurs Rp2.000 per US$, di Garuda hanya dibayar Rp16 juta per bulan. Karena yang dilakukan Robby Djohan memang itu adalah pengabdian dan kontribusinya terhadap negara melalui BUMN, maka dia tidak punya kepentingan lain selain harus berhasil.
Dua, penunjukan CEO perusahaan BUMN yang sedang mengalami krisis haruslah orang yang profesional dan sudah sangat berpengalaman menjalankan perusahaan besar. Leader in crisis adalah sosok pemimpin yang bekerja tidak untuk mencari popularitas atau sekedar menyenangkan karyawan, sehingga dia berani mengambil kebijakan yang tidak popular. Dalam perusahaan BUMN yang sedang krisis, kapasitas leadership lebih penting dari keahlian teknis.Acapkali wibawa juga harus menonjol agar dia berhasil meyakinkan orang dan itu ditunjang oleh pengalamannya dalam memimpin. Buktinya Robby Djohan yang tidak paham soal airlines berhasil mengatasi krisis di Garuda.
Maka jika Kementerian BUMN mengganti Pahala N Mansury sebagai CEO Garuda Indonesia dengan alasan keahliannya yang tidak sesuai, makapatut dipertanyakan bagaimana proses seleksi dan pengangkatan direksi terutama CEO di perusahaan pelat merah. Kementerian BUMN tentu sangat mengenal Pahala N Mansury adalah seorang the trusted banker yang jago di treasury. Persoalannya bukan Pahala belum pernah bekerja di bidangairlines, tapi belum pernah menjadi orang nomor satu di perusahan besar. Perlu diketahui, apapun bidang yang dikuasai, seorang business leader yang ditugaskan memimpin krisis di perusahaan haruslah sosok yang sangat berpengalaman, punya leadership yang sangat kuat, dan itu teruji ketika dia memimpin.
Perusahaan BUMN yang tidak lagi mendapatkan fasilitas subsidi dan monopoli seharusnya mendapatkan perlakukan yang sama dengan perusahaan swasta. Terutama dalam penunjukkan direksi dan komisaris. Baik di perusahaan BUMN maupun swasta, penempatan direksi terutama CEO harus memiliki tujuan yang jelas, bukan sekedar merotasi, mengembangkan karir para ekskutif di BUMN, apalagi menguji-coba keahlian para direksi di perusahaan pelat merah. Kriteria CEO yang ditunjuk untuk memimpin perusahaan yang krisis (crisis company) berbeda dengan ketika mereka sedang memimpin perusahaan yang sedang tumbuh (growing company). Kita yakin para pejabat di Kementerian BUMN pun sudah memahaminya. Hanya kita sering ragu, pemahaman itu sering dikalahkan oleh adanya intervensi-intervensi birokrasi dan unsur-unsur politik.(*)
Penulis adalah Komisaris Infobank Institute