Oleh : Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
BICARA dengan Faisal Basri, ekonom senior INDEF, seperti bicara dengan data-data. Setiap kata yang diucapkan selalu diawali dengan data. Suaranya lirih, pelan tapi penuh keyakinan. ”Saya punya data, Mas. Ngeri, kalau membacanya,” demikian saya sering mendengar ucapan Pak Faisal dalam banyak diskusi di ruang belakang kantor INDEF, Jalan Batu Merah, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Saya mengenal Faisal Basri di awal-awal tahun 1990-an ketika masih menjadi ekonom Universitas Indonesia (UI). Beliau menjadi narasumber Infobank ketika beliau menjadi researcher dari LPEM-UI. Ekonom muda yang kritis dan berani. Penampilannya yang khas dengan tas ransel dan jalannya yang cepat. Sederhana dengan baju kesukaan warna biru muda serta celana panjang cokelat krem. Bertopi pet ala Pak Tino Sidin.
Saya mengenal Faisal Basri lebih dekat ketika beliau bersama Didik J. Rachbini, Didin Damanhuri, serta Fadhil Hasan mendirikan INDEF – sebuah lembaga riset independen otonom – tahun 1995. Aktivitas INDEF di antaranya ialah melakukan riset dan kajian kebijakan publik, utamanya dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Itulah ekonom generasi pertama. Sejalan dengan itu memperkuat INDEF, ada nama Nawir Messi, serta Bustanul Arifin yang baru selesai studi dari AS. Juga, Dradjad Wibowo, Aviliani, dan Iman Sugema. Generasi berikutnya ada Erani Yustika, Enny Sri Hartati (alm), dan Tauhid Ahmad serta Esther Sri Astuti dan Eko Listiyanto. Tak lupa ada satu nama yang mengoperasikan keuangan INDEF, yaitu Nasaruddin. Kini lahir puluhan ekonom muda yang tergabung dengan INDEF.
Saya bukan ekonom. Saya wartawan yang suka melakukan riset. Tapi, oleh Didik J. Rachbini, saya selalu diperkenalkan ke generasi muda INDEF sebagai pendiri nonakta dan struktural. Ini bisa jadi karena saya pembawa “proyek pertama” untuk INDEF. Atau, karena saya sering nongol di kantor INDEF sejak kajian soal monopoli tepung terigu yang menghebohkan di tahun 1995.
Bahkan, ada cerita yang tak pernah terlupakan. Di tengah proyek buku yang memakan waktu relatif lama, keempat istri ekonom ini dalam kondisi hamil. Itu diketahui ketika bercerita di tengah break diskusi. Istri Faisal Basri, Bustanul Afirin, Nawir Messi, dan Didiek J. Rahbini. Bahkan, istri saya juga mengandung dalam bulan-bulan yang tak jauh berbeda. Itu teringat sampai sekarang.
Belakangan, Faisal Basri dan para ekonom senior mulai sering datang kembali ke INDEF. Di situlah saya sering bertemu dengan para ekonom senior dalam acara informal di kantor yang sekarang berdiri apik selayaknya kantor. Selalu ramai dan penuh kegiatan riset. Kini, menurut saya, hanya INDEF yang tetap berdiri tegak dengan kaderisasi yang bagus. Dan, salah satu sosok yang punya peran utama/penting adalah Faisal Basri, yang dengan tekun membimbing para ekonom muda.
Faisal Basri dikenal sebagai ekonom yang kritis, dan sering menyampaikan pandangannya dengan tegas dan lugas mengenai berbagai isu ekonomi di Indonesia. Gaya kritiknya, saya sering membandingkan dengan ekonom-ekonom yang memiliki pendekatan yang sama, seperti Joseph Stiglitz atau Paul Krugman, yang juga dikenal karena analisisnya yang tajam dan keterusterangannya dalam mengkritik kebijakan ekonomi.
Sedikit bedanya, Faisal Basri memiliki gaya yang lebih kontekstual, dan berfokus pada realitas ekonomi Indonesia, sehingga ia sering mengaitkan analisisnya dengan kondisi sosial dan politik di dalam negeri. Contohnya, ketika Faisal mengkritik pedas tentang kerugian negara soal penyelundupan nikel ke Tiongkok. Data-datanya lengkap. Juga, soal subsidi energi yang menurutnya masih besar.
Faisal Basri. Saya mengenalnya sebagai ekonom kritis yang sering mengemukakan pandangannya dengan tegas dan lugas. Gaya kritisnya mirip dengan Joseph Stiglitz dan Paul Krugman. Itu paling tidak pandangan saya terhadap sahabat saya, Faisal Basri.
Paling tidak ada beberapa alasan saya menyamakan beliau dengan Joseph Stiglitz peraih Nobel Prize bidang ekonom tahun 2001 dan Paul Krugman peraih Nobel Prize 2008. Pertama, mereka analisisnya kritis. Faisal Basri cenderung melakukan analisis yang mendalam terhadap isu-isu ekonomi, sering kali mempertanyakan kebijakan yang ada dan menawarkan sudut pandang alternatif.
Kedua, diskusi dan tema yang diangkat senantiasa melibatkan publik. Nah, ketiga ekonom ini aktif dalam diskusi publik dan sering menyampaikan pendapat mereka di media. Mereka tidak hanya berbicara di kalangan akademis, tetapi juga berusaha menjangkau masyarakat luas.
Ketiga, Faisal Basri, Stiglitz, dan Krugman sering menggunakan pendekatan interdisipliner dalam analisis ekonomi, mengaitkan isu-isu ekonomi dengan aspek sosial dan politik. Lihat saja, bagaimana Faisal gigih berkomentar keras tentang penyelundupan, subsidi yang tidak terus terang, korupsi, dan kejahatan ekonomi.
Jadi, Faisal Basri juga fokus pada keadilan sosial. Ketiga ekonom ini memiliki perhatian terhadap isu-isu ketidaksetaraan dan keadilan sosial, serta dampak kebijakan ekonomi terhadap masyarakat luas. Keadilan sosial inilah yang menjadi persamaan ketiga ekonomi ini.
Keempat, gaya penyampaian pemikirannya juga sama. Aksesibel. Ketiganya memiliki kemampuan untuk menyampaikan ide-ide kompleks dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat umum, sehingga membuat pemikiran mereka lebih mudah diterima. Gaya Faisal yang blak-blakan dan tanpa sedikit rasa takut ketika menyampaikan pemikiran kepada publik – berbeda sekali ketika berbicara secara pribadi, yang pelan dan cederung berbisik.
Dengan ciri-ciri tersebut, pemikiran Faisal Basri saya anggap sejalan dengan pemikiran Stiglitz dan Krugman, meskipun setiap ekonom memiliki gaya dan fokus yang unik. Dan, saya mengenang Faisal Basri sebagai ekonom hebat yang peduli dengan nasib Indonesia.
Saya terakhir bertemu Faisal Basri ketika ulang tahun ke-29 INDEF di awal Agustus 2024. Seperti biasa duduk di belakang kantor sambil merokok. Di ruang belakang dengan kopi buatan Ibu Atun yang khas. Ada Nawir Messi, ada Fadhil Hasan, Didik J. Rachbini, dan Bustanul Arifin serta Iman Sugema. Merokok dan ngopi serta mengenang awal-awal berdirinya INDEF dengan cerita jenakanya.
Setelah membahas rawon, menu makan malam buatan Aviliani. Diskusi ringan soal kesehatan. Maklum, usia sudah menembus angka 60-an. “Saya lebih sehat sekarang. Saya ada sedikit gangguan jantung, Mas,” kata Faisal Basri kepada saya setengah berbisik. Saya agak kaget. Saya hanya bilang ke Faisal, sekarang tidurnya nggak boleh lebih dari pukul 22.00 WIB, dan jangan diforsir. Malam itu, saya pulang lebih awal. Tak sengaja, terbawa korek api milik Faisal Basri.
Sejak saat itu, saya belum ketemu Faisal Basri lagi. Subuh tadi, tanggal 5 September 2024, saya mendengar kabar duka dari sahabat INDEF bahwa Faisal Basri telah wafat di rumah sakit pada pukul 03.50 WIB. Faisal masuk rumah sakit pada Senin, 2 September 2024, setelah melakukan perjalanan dari Medan-Jakarta yang tentu melelahkan.
Saya mengenang Faisal Basri sebagai ekonomi senior INDEF yang sederhana, jujur, dan berani. Lugas dan tegas gaya bicaranya. Nilai hidupnya tidak pernah digadaikan sampai akhir hayatnya. Faisal Basri orang yang sangat baik, rendah hati, peduli dengan sesama. Teman diskusi yang luar biasa, dan juga pendengar yang baik. Saya banyak belajar dari Faisal Basri yang sering memberi oleh-oleh kopi dari banyak daerah. Faisal Basri wafat dalam usianya yang ke-65 tahun, meninggalkan istri dan tiga orang anak.
Selamat jalan, sahabat terbaik… Surga adalah tempatmu.