Jakarta – Pemerintah diketahui telah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada rokok senilai 10% di tahun 2023-2024. Dengan kenaikkan tarif tersebut tentunya akan memberikan dampak negatif terhadap emiten rokok.
“Beban cukai yang bertambah setiap tahun akan wajar memicu merosotnya kinerja keuangan perusahaan rokok besar. Kenaikan cukai akan jadi beban atau ongkos sehingga memaksa terjadinya penurunan laba bersih dari tahun ke tahun,” ucap Founder Traderindo, Wahyu Laksono kepada Infobanknews dikutip 7 November 2022.
Kenaikan tarif CHT yang selalu jauh di atas angka inflasi, membuat kinerja keuangan dari sisi profitabilitas perusahaan anjlok pada industri padat karya tersebut, seperti Gudang Garam dan Sampoerna.
“Penurunan laba terjadi pada emiten rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) misalnya. Perseroan mengalami penyusutan laba hingga 63,92% secara tahunan menjadi Rp1,49 triliun per September 2022,” imbuhnya.
Ia juga menambahkan, bahwa penyebab penurunan laba GGRM utamanya adalah kenaikan biaya pokok penjualan yang di mana cukai dan pajak termasuk beban terbesar di dalamnya, sebesar 5,58%.
Sementara itu, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mencatat penurunan laba bersih sebesar 11,7% menjadi Rp4,9 triliun per September 2022. Angka tersebut jauh dari profitabilitas pada periode yang sama pada 2019 yaitu Rp10,20 triliun.
“Beban kenaikan cukai biasanya sulit dibebankan sepenuhnya kepada konsumen karena akan memicu penurunan penjualan karena didukung juga oleh penurunan daya beli,” ujar Wahyu.
Sehingga, akan berdampak negatif kepada harga saham industri rokok, terlihat pada saham GGRM yang terkoreksi ke level 22.350 dan HMSP ke level 930. (*) Khoirifa