Pemerintah Kurang Sat-set, Judi Online Tembus Rp600 Triliun, Ekonomi Masyarakat “Ngos-ngosan”

Pemerintah Kurang Sat-set, Judi Online Tembus Rp600 Triliun, Ekonomi Masyarakat “Ngos-ngosan”

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

JUDI online di Indonesia sudah masuk kategori darurat. Hari-demi hari omzet judi online semakin terbang. Lima tahun terakhir omzet judi online menembus Rp600 triliun. Untuk tahun lalu saja, omzet judi online ini mencapai Rp327 triliun. Nah, jika diasumsikan sama, maka untuk akhir tahun 2024 omzet judi online bisa menembus Rp400 triliun, karena kuartal I tahun 2024 sudah mencapai Rp100 triliun.

Menurut pemerintah, judi daring sulit diberangus meski merugikan rakyat kecil, karena masing-masing instansi bekerja sendiri-sendiri. Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Terpadu untuk memberantas judi daring yang hari demi hari makin merusak dan melemahkan perekonomian.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah secara resmi membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024. Satgas ini langsung dipimpin oleh sejumlah menteri terkait. Dalam Pasal 4 Keppres Nomor 21 Tahun 2024, Satgas Judi Online bertugas untuk mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring secara efektif dan efisien. 

Satgas Judi Online resmi disahkan oleh Presiden Jokowi pada Jumat, 14 Juni 2024, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang saat ini dijabat Hadi Tjahjanto. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua Satgas Judi Online, Hadi dibantu oleh Ketua Harian Bidang Pencegahan Budi Arie Setiadi dan Ketua Harian Bidang Penegakan Hukum Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Lebih jelasnya, Satgas Judi Online itu untuk meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga dan kerja sama luar negeri dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring. Satgas ini sejujurnya agak terlambat dan kurang sat-set. Sebab, dari rapat pembentukan sampai keluarnya Keppres No 21 Tahun 2024 ini berjarak mendekati dua bulan.

Menurut catatan Infobank Institute rencana pembentukan satgas diungkap oleh pemerintah pada bulan lalu. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto sempat menggelar rapat untuk mematangkan pembentukan Satgas Judi Online bersama beberapa pejabat kementerian/lembaga di Kantor Kemenko Polhukam RI, Jakarta, Selasa, 23 April 2024.

Baca juga: Heboh Korban Judi Online Bisa Jadi Dapat Bansos, Begini Tanggapan OJK

Dampak judi online sungguh mengkawatirkan. Kabar buruk datang dari Mojokerto, seorang istri membakar suami karena uang gaji ke 13 dipakai untuk judi online. Juga, banyaknya tingkat perceraian karena judi online. Lebih mengerikan lagi, banyak anak-anak muda juga terjerat judi online, lalu pinjaman online yang menjerat korban.

Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa jumlah pemain judi online di Indonesia telah mencapai 3,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, hampir 80 persen berasal dari kalangan menengah bawah. Dan, inilah sebuah bencana besar bagi negara. Kemiskinan struktural makin terjadi.

Di lapangan modus judi daring terus berkembang dengan ragam inovasi penawaran. Bahkan, disinyalir, permainan judi daring ini dirancang mempunyai daya jerat kuat secara psikologis. Dibuat kecanduan, dan terus menerus untuk memainkan judi daring ini. Sejalan dengan itu – penawaran pinjaman online (pinjol) juga langsung menyergap para penjudi. Namanya penjudi, kalau sudah kalah maka tetap akan kalap, meski itu modalnya dari pinjol yang berbunga mencekik. Kalah judi lalu pinjam pinjol, maka malapetaka telah terjadi kepada generasi-generasi muda.

Judi daring ini bisa jadi menjadi pelipur lara dan menangkan mimpi hidup lebih baik. Korban-korban judi daring ini lebih banyak menyangkut masyarakat kelas bawah yang tercekik kemiskinan, meski ada anak-anak kelas menengah. Masyakat kelompok inilah yang lebih mudah untuk digunakan untuk kepentingan politik. Mereka kaum miskin dihibur dengan mimpi judi daring agar mudah “diternakan” untuk kepentingan politik.

Edan! Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, meski sudah diralat, pernyataanya tentang korban judi online akan mendapat bantuan sosial (bansos) membuat geleng-geleng kepala. Dua hari berselang pernyataan itu diralat, Muhadjir, menjelaskan perihal gagasan pemberian bansos kepada korban judi online.

Pasalnya, menurut Menko Muhadjir, beredar informasi yang kurang lengkap perihal gagasan pemberian bansos tersebut belakangan ini. Menurut Muhadjir, mereka yang menjadi sasaran penerima bansos korban judi online bukan pelaku, melainkan pihak keluarga. Apa pun itu, pemerintah tampaknya masih berpikiran tentang berternak orang miskin.

Apa pun itu “pemberian insentif” bagi korban judi online ini tak seperti perlakuan di Singapura dan Malaysia yang memberi hukuman bagi pelaku judi online. Lha, di Indonesia masih dikasih bansos. Wacana ini menjadi kontroversi jika melihat ‘beda perlakuan’ untuk pelaku judi online di berbagai negara. Misalnya Singapura yang memberikan denda S$5000 dan enam bulan penjara. Malaysia memberi denda RM3000 dan satu bulan penjara.

Diketahui, selama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah membekukan lebih dari 5.000 rekening yang terkait judi daring ini, toh seperti mati satu tumbuh seribu. Ganti nama dan ganti account. Selama ini, OJK sudah membekukan, tapi aliran uang judi daring ini masih terus mengalir. Pendek kata, OJK bisa memblokir, tapi tak bisa membuka atau membekukan rekening. Pembekuan rekening syaratnya harus ada permintaan dari aparat penegak hukum.

Dan, untuk lebih mudah memberantas judi daring ini dari sistem perbankan, rekening-rekening bank yang diindikasikan judi daring langsung diblokir dan dananya untuk disita ke negara. Hal ini bisa dilihat dari laporan PPATK tentang rekening judi daring yang mencapai Rp327 triliun.

Rekening-rekening (virtual account) tersebar di bank-bank di Indonesia. Langkah memutus ekosistem judi dari ini bisa dimulai dari rekening bank-bank dan ekosistem judi daring secara menyeluruh. Untuk itu, bank-bank juga harus diberi payung hukum yang kuat, jangan sampai pemblokiran dan pembekuan rekening bank akan menimbulkan masalah baru di masa-masa yang akan datang.

Benar. Memberantas judi daring ini tidak bisa sendiri. Selain dari bank, setidaknya dibuat ketentuan jika merchant dilarang memfasilitas layanan top up untuk judi. Juga, Pelaku Usaha Sektor Keuangan dilarang memfasilitasi judi daring. Lebih ketat kepada penyelenggara transfer dana dan payment gateway. Bahkan, penyelenggara e-money perlu melakukan due-diligence untuk voucher games.

Tidak hanya itu. Perlu lebih ketat kepada merchant QRIS yang digunakan untuk top up voucher games dan sekaligus terapkan transaksi kecil-kecil top up. Lebih penting dari itu perlu dibuat taskforce yang beranggotakan BI (payment di QRIS), OJK, bank, Kemenkoinfo (tracing address), PPATK (tracing judi), dan tentu polisi. Bisa jua Satgas waspada investasi tugasnya diperluas, termasuk dengan melakukan pemeriksaan kepada pelaku judi daring yang lima tahun terakhir transaksinya melonjak.

Perlu pula diatur tentang penggunaan virtual account (VA) yang sampai saat ini belum ada ketentuannya. Dulu, VA digunakan sebagai administrasi settlement, tapi sekarang berkembang digunakan transkasi pembayaran yang disediakan bank kepada non-bank, seperti e-wallet dan merchant aggregator.

Nah, untuk memotong aliran uang atawa tracing transfer dana antar negara ke Hongkong, Kamboja, Filipina, Vietnam dan beberapa negara yang sering menjadi lapak para penjudi online.

Semakin besar perputaran judi online, maka semakin kecil daya dorong perekonomian dan berdampak pada kemiskinan. Jangan biarkan kemiskinan ini terus membesar yang nantinya dengan bansos dapat “diternakan” untuk kepentingan politik.

Semua harus tegas tentang judi daring ini. Anak-anak muda yang di tahun 2045 akan menjadi generasi emas tidak berubah menjadi generasi cemas yang lemas karena kecanduan judi daring yang sudah masuk kategori darurat ini. Tidak hanya dari segi kecanduan judi, tapi juga soal “mengkeretnya” ekonomi dalam negeri yang oleh Pemerintah selalu menyebut faktor global yang tidak baik-baik saja. Jujur faktor diri sendiri yang terwakili oleh judi online tidak disebut. Nilai tukar rupiah yang masih liar, beban fiskal yang berat yang membuat ekonomi masyarakat “ngos-ngosan” plus larinya uang masyarakat untuk main judi.

Baca juga: OJK Blokir 4.921 Rekening Bank Terkait Judi Online  

Bayangkan! Lima tahun terakhir ini omzet judi online Rp600 triliun, atau 3,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang tahun 2023 mencapai Rp20.892 triliun. Dan, duit Rp600 triliun itu terbang ke luar negeri. Itulah salah satu sebab ekonomi “ngos-ngosan”. Daya beli turun, banyak orang miskin dan berharap menang judi online. Sektor mikro “kembang kempis” dan ada tren kredit bermasalah di kredit mikro yang jumlahnya terus mendaki.

Bukan pesimis soal efektifitas Satgas Judi Online. Akan tetapi, jika pendekatan Satgas Judi Online seperti Satgas Pungli yang kita tahu makin banyak pungli, Satgas Pangan ternyata masih banyak kekurangan pangan, Satgas Anti Narkoba, Satgas Waspada Investasi dan banyak Satgas lainnya seperti Satgas Anti Hoak dan Satgas Penegakan Hukum.

Pemerintah kurang sat-set mencegah judi online atau setengah hati? Tanpa melibatkan sektor keuangan dan bank, judi online akan terus tumbuh. Lha piye? Memberantas sabung ayam saja sulit ya? Apalagi judi online dengan Satgas. Tanyakan pada rumput bergoyang tentang kinerja para Satgas yang sudah dibentuk.

Mari selamatkan anak muda dari judi online dan perlu melibatkan bank dan sektor keuangan serta ekosistem judi online yang masih bebas meski ada Satgas Judi Online ini. Mengapa?

Related Posts

News Update

Top News