“Kewenangan ini sangat rawan disalah-gunakan oleh oknum pajak yang nakal. Perppu memberi kewenangan yang luar biasa besar kepada aparat Pajak, ditambah dengan denda tax amnesty yang sangat besar,” tutur Dradjad.
Di sisi lain, lanjutnya, mekanisme pengawasan serta check and balance tidak disiapkan. “Hanya mengikuti mekanisme generik yang ada di Kementerian Keuangan,” ujar Anggota Dewan Kehormatan PAN ini.
Baca juga: Ini Tanggapan Bankir Soal Perppu Keterbukaan Data Nasabah
Kondisi ini mau tak mau membuat pemilik rekening keuangan yang lalai dalam perpajakan sangat rawan menjadi korban pemerasan. Risiko KKN juga meningkat tinggi. Ini terlepas dari apakah pemilik rekening tersebut lalai dengan sengaja atau tidak, ataupun karena selama ini kurang perhatian terhadap aturan perpajakan.
“Kondisi di atas berpotensi membuat nasabah keuangan panik. Seharusnya memang tidak perlu panik, asalkan mereka sudah ikut tax amnesty dengan benar. Ditambah dengan belum adanya perjanjian bilateral dengan Singapura terkait hal ini, risiko kepanikan ini bisa berubah menjadi risiko pelarian modal,” terang Dradjad.
Ia menilai pemilihan Perppu sebagai dasar hukum, bukan undang-undang (UU) yang normal, bisa menambah efek psikologis negatif. Ini karena DPR hanya punya dua pilihan, menerima atau menolak Perppu. “Tidak ada pilihan ‘memperbaiki berdasarkan masukan masyarakat’. Tidak ada peluang membangun mekanisme pengawasan serta check and balance,” tegasnya. (Bersambung ke halaman berikutnya)