oleh Diding S. Anwar
PADA 2016 kredit ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tumbuh 8,47 persen menjadi Rp802,11 triliun. Tinggi atau rendah pertumbuhan tersebut bisa dibilang relatif. Dibilang tinggi karena pertumbuhan total kredit perbankan lebih rendah atau sebesar 7,85 persen. Dibilang rendah mengingat banyak pelaku UMKM yang semestinya bisa lebih berkembang, tapi belum mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Penyebabnya ada dua. Satu, keterbatasan akses ke perbankan. Dua, pelaku usaha mikro dan kecil umumnya enggan mengambil kredit perbankan dan memilih mengembangkan usahanya secara tradisional.
Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) menyebutkan, sekitar 70 persen usaha mikro dan kecil di Indonesia tidak tertarik menambah modal lewat pembiayaan bank atau kredit usaha. Alasannya beragam, mulai dari masalah prosedur kredit yang rumit, beranggapan sulit mendapatkan persetujuan dari bank, produk kredit dari bank tidak semuanya matching dengan profil UMKM, hingga alasan ketiadaan jaminan (collateral) yang memadai.
Dalam melakukan pembiayaan, perusahaan mikro dan kecil berbeda dengan perusahaan-perusahaan besar yang melakukan praktik pembiayaan perusahaan (corporate finance) melalui perbankan maupun pasar modal. Utang menjadi bagian dari strategi penting dunia korporasi untuk meningkatkan skala usahanya.
Jarang perusahaan besar yang berorientasi pada profit selalu menggunakan modal sendiri. Meskipun pemilik perusahaan memiliki dana, mereka mendorong manajemen yang diisi profesional untuk mencari modal dari perbankan dan pasar modal. Dengan mengambil utang, manajemen dipacu untuk menghasilkan penjualan dan return yang maksimal sehingga nilai perusahaan (value of the firm) akan meningkat. (Bersambung ke halaman berikutnya)