Jakarta – Dalam lima tahun terakhir sektor properti mengalami perlambatan. Menurut survei Bank Indonesia (BI), per kuartal I tahun 2019, penjualan properti residensial hanya tumbuh 0,05% dari sebelumnya 10,64% (year on year/yoy). Meski pada kuartal II tahun 2019 mengalami kontraksi hingga 15,79%, tekanan terhadap sektor properti masih terus berlanjut.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun ini juga melakukan koreksi atas pertumbuhan kredit menjadi 9%-11% dari sebelumnya 10%-12%. Koreksi pertumbuhan kredit ini memberi signal bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa melebihi dari target sebelumnya. Kelesuan ekonomi global akibat Perang Dagang China-AS menjadi tekanan bagi dunia usaha, dan pada akhirnya sektor perbankan.
Tidak kurang berbagai cara dilakukan regulator dan pemerintah untuk mendorong sektor properti ini. Misalnya, properti di bawah Rp30 miliar dibebaskan dari pengenaan pajak barang mewah. Melalui PMK No. 86 Tahun 2019 yang berlaku sejak 11 Juni 2019, pemerintah hanya memungut PPnBM sebesar 20% atas rumah mewah, apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga di atas Rp30 miliar. Pemerintah juga melakukan pelonggaran PPh. Tarif PPh pasal 22 atas properti yang tergolong barang mewah diturunkan menjadi 15%.
Penurunan suku bunga juga menjadi stimulus, termasuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Indonesia yang diperkirakan akan melonggarkan likuiditas sebesar Rp25 triliun. Dan, sebelumnya Bank Indonesia juga sudah melakukan relaksasi melalui loan to value (LTV) yang lebih longgar. Bahkan, LTV ini ditentukan sendiri oleh bank-bank penyalur kredit.
Menurut Biro Riset Infobank (birI), meski sektor properti mengalami tekanan, peluang pembiayaan properti masih sangat besar. Bank-bank bisa mulai melirik pasar milenial dan sektor informal. Dua pasar ini sangat menjanjikan. Sayangnya, pasar milenial belum berkembang. Sementara, pasar informal masih belum digarap dengan baik karena terbentur persyaratan atau pun sebab lain.
“Pasar milenial dan informal ini diharapkan mampu mendorong pembiayaan properti yang sedang mengalami stagnasi. Sudah waktunya bank-bank membuka keran kredit untuk dua pasar yang selama ini belum digarap dengan baik,” ujar Eko B. Supriyanto, Direktur Biro Riset Infobank.
Prospek dan tantangan pasar baru inilah yang akan menjadi salah satu topik bahasan pada even akbar “3rd INDONESIA MORTGAGE FORUM 2019” yang akan digelar di Shangri-La Hotel, Jakarta, pada Kamis, 17 Oktober 2019, dan dihadiri oleh 350 peserta.
Even tahunan ini merupakan kerja bersama antara INDONESIA MORTGAGE BANKERS ASSOCIATION (IMBA) – Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) dan Majalah INFOBANK. Tahun 2019 ini adalah tahun ketiga IMBA menyelenggarakan INDONESIA MORTGAGE FORUM. Setiap tahun diangkat tema berbeda sesuai dengan kebutuhan industri perbankan di sektor properti. Tahun ini INDONESIA MORTGAGE FORUM mengangkat tema potensi menyasar baru dari kalangan milenial dan sektor informal.
Dua segmen pasar ini sangat potensial. Pasar milenial, misalnya, adalah pasar dari kalangan usia 21-35 tahun yang merupakan usia produktif. “Kelompok usia ini adalah end-user yang membutuhkan rumah sebagai rumah pertama mereka, sehingga potensinya sangat besar untuk digarap perbankan,” ujar Suryanti Agustinar, Ketua IMBA yang juga Executive Vice President Non-subsidized and Consumer Lending Division PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk itu.
Sementara, pasar dari sektor informal juga sangat potensial. Hanya saja, mereka selama ini dinilai belum bankable sehingga sulit untuk mendapat kredit kepemilikan rumah (KPR). Padahal, secara finansial mereka sangat feasible. “Ini masalah klasik yang harus kita diskusikan bersama dengan seluruh stakeholder industri keuangan, khususnya regulator,” tutupnya. (*)