Jakarta — Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengungkapkan, peralihan sumber energi dari energi fosil yang tidak ramah lingkungan ke sumber energi baru terbarukan yang ramah lingkungan tidak bisa dilakukan sekejap mata. Apalagi sepertiga kebutuhan energi utama, baik di Indonesia dan global masih dipenuhi oleh batubara.
Sehingga penghentian pembiayaan ke subsektor ini tidak bisa serta merta langsung dihapuskan. Karena secara signifikan dinilai justru bakal menimbulkan dampak lanjutan yang tidak baik.
“Perlu proses dan upaya jangka panjang,” tutur Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, Rabu (5/1/2022).
Melihat kenyataan tersebut, dia menekankan, bahwa tidak ada alasan untuk menghentikan pembiayaan ke subsektor batubara secara total dalam waktu singkat. “Saat ini energi baru terbarukan belum berkembang dan kita masih sangat membutuhkan subsektor pertambangan batubara,” tukasnya.
Piter berpendapat, kalau pembiayaan terkait batubara dihentikan mendadak Indonesia bisa mengalami krisis energi dan juga kehilangan pendapatan. Selain itu, multiplier effect atau efek lanjutannya adalah bisa menimbulkan krisis di masyarakat. Walau ekonomi hijau sangat penting, namun demikian kesejahteraan masyarakat tetap menjadi hal yang paling utama.
“Banyak orang kehilangan pekerjaan. Krisis sosial juga. Jadi untuk mendorong green economy, pembiayaan hijau, bukan berarti industri yang masih menggunakan batubara langsung dimatikan,” tegas Piter.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Perbankan Binus University, Doddy Ariefianto mengatakan, saat ini sudah banyak perusahaan keuangan yang menerapkan pembiayaan sektor bisnis yang menerapkan prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola Perusahaan (Environmental, social and corporate governance/ESG) Bahkan sudah ada lembaga yang mengawasinya.
“ESG merupakan tren yang dimulai di abad 2021. Perusahaan penting menerapkan manajemen tata kelola laporan keberlanjutan atau sustainability agar tidak hanya berorientasi hanya laba semata, tapi ada tanggung jawab sosial lain,” kata Doddy.
Lebih jauh ujar Doddy, tanggapan dunia internasional sendiri sejauh ini sudah sangat positif akan hal ini. Bahkan investor global sudah sangat ketat untuk melakukan sebuah investasi terkait ESG. Dia bilang, bahkan ada sebuah nilai minimum atau report yang akan menjadi acuan untuk investor sebelum melakukan investasinya. Hal tersebut menjadi sebuah punishment, untuk mendorong perusahaan-perusahaan bisa menerapkan ESG.
Namun apakah Indonesia sudah bisa sepenuhnya seperti di negara maju tersebut?
Doddy mengungkapkan perusahaan keuangan perlu diberi apresiasi karena telah banyak yang telah menerapkan prinsip ESG. Namun, jika masih ada yang melalukan pembiayaan ke sektor kurang ramah lingkungan, tentu tidak bisa disalahkan juga. Karena memang pada dasarnya, negara berkembang saat ini, tidak bisa sepenuhnya disamakan seperti dengan negara maju.
Karena negara maju dengan teknologi dan finansialnya dianggap sudah bisa menggunakan atau mencari sumber daya energi terbarukan lain yang ramah lingkungan. Sementara di negara berkembang belum tentu bisa seperti itu, atau belum sanggup atau mampu.
“Kita sebagai negara berkembang juga dilematis. Sehingga perlu duduk bareng antara pengusaha, perusahaan keuangan hingga regulator yang bisa mendorong hal itu, dengan memberikan intensif, baik berupa insentif pajak, suku bunga, dan lain-lain,” jelas Doddy.
Terkait dengan green banking, sebenarnya sudah dilakukan perbankan, dan porsi pembiayaannya pun semakin meningkat dari waktu ke waktu. Seperti yang dilakukan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) yang telah menyalurkan pembiayaan dalam green portfolio mencapai Rp140,5 triliun, atau mencapai 24,7% dari total kredit BNI.
“Dapat kami sampaikan bahwa sebagai pelopor Green Banking, BNI akan meningkatkan ekspansi bisnis yang selektif dan menyiapkan solusi keuangan secara berkelanjutan pada 2022. Kami akan melanjutkan inisiasi green lending pada portfolio kredit BNI untuk mendukung inisiatif ESG, salah satunya adalah dengan meningkatkan bisnis UMKM melalui BNI Xpora untuk meningkatkan potensi UMKM go global,” tutur Corporate Secretary BNI, Mucharom.
“Perlu juga kami sampaikan bahwa pembiayaan dengan konsep berkelanjutan ini menjadi salah satu sumber pendapatan dengan prospek yang kuat bagi BNI. Hal ini pun akan memacu BNI untuk terus mencari banyak potensi pertumbuhan portofolio hijau lebih kuat lagi ke depannya,” ucap Mucharom lagi.
Adapun, beberapa segmen yang termasuk dalam protofolio hijau adalah pembiayaan dengan konsep pemberdayaan, pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, pencegahan polusi, energi baru dan terbarukan serta segmen pengelolaan limbah.
Setali tiga uang, Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F. Haryn menyebut pihaknya berkomitmen mendukung upaya Pemerintah dalam rangka menumbuhkembangkan ekonomi hijau.
BCA, lanjutnya, senantiasa mengedepankan nilai-nilai ESG, ditandai dengan komitmen penyaluran kredit kepada sektor-sektor berkelanjutan yang naik 25,6% secara setahunan (year on year/YoY) menjadi Rp143,1 triliun per kuartal III-2021. Nilai ini terdiri dari Non UMKM dan UMKM.
“Di sisi lain, kami melihat bahwa digitalisasi dengan sistem otomasi juga merupakan cara yang paling efektif dalam percepatan pengurangan emisi karbon,” tutur Hera.
Terkait digitalisasi tersebut, BCA juga mendorong nasabah menggunakan layanan digital perbankan seperti mobile banking dan internet banking yang kini telah dilengkapi dengan berbagai fitur canggih. Sedangkan terkait pembiayaan ESG, perseroan tidak akan fokus pada satu sektor saja.
“Ke depan, prospek kredit berkelanjutan BCA di tahun 2022 cukup baik dan masih banyak peluang pembiayaan ke sektor ekonomi hijau. Tidak ada sektor khusus yang dibidik, BCA membuka kesempatan untuk pembiayaan ke seluruh sektor ekonomi hijau,” tutupnya. (*)