Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
GUGUR satu tak tumbuh lagi. Jumlah bank perekonomian rakyat (BPR) terus berkurang dari tahun ke tahun. Diperkirakan jumlah BPR akan terus menyusut, karena dicabut izinnya dan karena “kawin paksa” sedarah. Atawa merger satu grup. Juga, karena akuisisi BPR besar dengan BPR yang modalnya cekak. Semua atas nama konsolidasi, atau karena alasan lain, seperti merasa kewalahan, tidak mau atau mampu mengawasi dan mengatur BPR yang jumlahnya masih di atas 1.400 BPR.
Kini, BPR satu grup sambil menunggu merger MNC Bank dan Nobu Bank yang berlarut-larut – tengah menyesuaikan diri dengan POJK No. 7 Tahun 2024 tentang Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah yang sudah ditandatangani oleh Ketua OJK 25 April 2024 dan berlaku sejak tanggal diundangkan pada 30 April 2024.
Hari-hari ini tidak mudah bagi BPR, baik yang satu kepemilikan saham pengendali (PSP) maupun tidak satu kepemilikan, baik yang sehat maupun yang tidak sehat. Juga, baik yang modalnya cekak maupun yang modalnya sudah tebal (untuk ukuran BPR) yaitu di atas Rp6 miliar. Konsolidasi dilakukan dalam kondisi makro yang tidak baik-baik saja – di tengah tekanan krisis global dan pasca-COVID-19 yang masih terasa dampaknya ke BPR.
Pada intinya, dalam POJK No. 7 Tahun 2024 atau roadmap BPR/BPRS ini ada beberapa hal yang menarik. Satu, kewajiban penyampaian rencana tindak penggabungan, atau peleburan bagi BPR atau BPR syariah dalam kepemilikan dan/atau pengendalian PSP yang sama (BPR/S grup) dalam 1 (satu) wilayah pulau atau kepulauan utama paling lama 4 (empat) bulan setelah POJK ini mulai berlaku (pasal 132).
Dua, batas waktu penyelesaian konsolidasi melalui penggabungan atau peleburan bagi BPR/S grup (nonpemda) paling lama 2 (dua) tahun sejak POJK ini mulai berlaku; dan bagi BPR/S grup (pemda) paling lama 3 (tiga) tahun sejak POJK ini mulai berlaku (pasal 131).
Tiga, kewajiban penyampaian permohonan persetujuan penggunaan izin usaha dengan nama baru, bagi BPR atau BPR syariah yang telah melakukan perubahan nomenklatur sebelum berlakunya POJK ini namun belum memperoleh persetujuan dari OJK, paling lama 3 (tiga) bulan sejak POJK ini mulai berlaku (pasal 147).
Tahun 2024 ini merupakan tahun menentukan bagi BPR. Mereka yang kurang modal atau modalnya di bawah Rp6 miliar akan turun status menjadi lembaga keuangan mikro (LKM). Bukan bank statusnya. Tapi, jujur, mirip-mirip bank juga operasionalnya. Namun, intinya, jumlah BPR akan berkurang karena ketentuan modal minimum yang naik. Apalagi, masih ada sekitar ratusan BPR yang belum memenuhi ketentuan modal Rp6 miliar.
Pada akhir 2022, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah BPR masih 1.441 unit, lalu menyusut menjadi 1.400 di Januari 2024. Jumlahnya akan terus berkurang karena selama empat bulan terakhir saja telah terjadi pencabutan izin usaha tiga BPR. Jika dibandingkan dengan 2016 yang ketika itu jumlahnya masih sebanyak 1.799, tentu jumlah sekarang ini sudah menyusut lebih dari 300 BPR. Hal itu bisa jadi karena ada merger BPR-BKK yang jumlahnya ratusan.
Hampir pasti jumlah BPR tahun ini akan berkurang, baik karena merger, likuidasi, akuisisi-merger, maupun dikembalikan izin usahanya. Belakangan, juga banyak BPR yang dijual untuk diubah bisnis modelnya dengan perusahaan financial technology (fintech) – untuk dijadikan payment system maupun bank digital kelas BPR.
Menurut catatan Infobank Institute, BPR berguguran karena, seperti dijelaskan oleh otoritas pengawas dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), masalah mismanagement. Atau, salah kelola, dan bukan masalah kompetisi yang utama. Selalu saja otoritas memosisikan BPR dengan bank umum, baik dalam hal aturan maupun teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Bahkan, jumlah direksi dan komisaris serta pejabat eksekutif pun diwajibkan oleh OJK. Namanya BPR ya ukurannya kecil. Tentu tak bisa disamakan dengan bank umum secara aturan.
Namun, harus diakui, banyak BPR yang dicabut izin usahanya semata-mata karena masalah salah kelola. Walaupun, harus diakui juga, masih banyak BPR yang kualitasnya sangat bagus, bahkan asetnya bisa melewati bank umum dan dengan penguasaan teknologi yang makin baik. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), BPR ini berperan sangat baik di sektor UMKM. Terus terang, tidak mudah bergerak di pasar mikro ini.
Sudah banyak bukti. Tak sedikit bank kaliber internasional yang “tutup” segmen mikronya. Lihat Mandiri Mikro (Bank Mandiri), Danamon Simpan Pinjam (Bank Danamon), juga kredit mikro BTPN. Seperti dikutip media, pada 2023 lalu, BRI menghapusbukukan Rp23 triliun kredit mikronya. Tidak mudah membiayai kredit mikro. Dan, kendati yang dirasakan BPR juga demikian, tapi harus diakui, BPR masih tetap survice. Bahkan, itu terjadi ketika BPR lebih banyak diatur dan disamakan dengan bank umum.
Dan, di situlah masalah utamanya. Malah, dalam Undang-Undang P2SK (UU P2SK) yang memperbolehkan BPR go public maka standar aturan pun mengacu ke standar go public. Hal itu justru makin membuat BPR kalang kabut.
Hari-hari ini, tidak hanya soal modal Rp6 miliar yang akan jatuh tempo tahun ini yang dihadapi BPR. Beberapa data menyebutkan – seperti data dari Biro Riset Infobank – masih ada sekitar 290-300 BPR yang modalnya masih di bawah Rp6 miliar. Pertanyaan pentingnya, apakah BPR-BPR itu bisa lolos dari lubang jarum? Tidak mudah.
Ada banyak tantangan saat ini bagi BPR. Walaupun COVID-19 telah berlalu, tapi ternyata masih meninggalkan luka. Relaksasi kredit telah dicabut, dan tentu ini menjadi masalah besar. Untuk bank umum mungkin tidak menjadi masalah, tapi bagi BPR ini menjadi masalah, seperti bagaimana jika restrukturisasi kredit tidak mengikuti jatuh tempo dan disamakan dengan restrukturisasi bank umum, maka akan menjadi pukulan telak bagi BPR.
Jangankan memenuhi modal secara organik, untuk menjaga kemampuan membentuk cadangan pun rasanya berat. Apalagi dengan aturan kualitas aktiva produktif dan nonproduktif, juga seperti properti terbengkalai, maka perlu dibuat cadangan. Ini tidak mudah bagi BPR dan diperlukan relaksasi kredit sesuai dengan perjanjian dalam restrukturisasi. Otoritas tidak perlu takut akan adanya nasabah “zombi” – yang hanya membayar bunganya. Hal ini tidak perlu ditakutkan karena nasabahnya kelas mikro.
Itu persoalan yang dihadapi seluruh BPR hari-hari ini. Juga soal lain, menyangkut penerapan SAK EP yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 – akan membawa konsekuensi yang sangat besar bagi industri, baik dari segi pengukuran maupun pencatatan, khususnya pada aset dan liabilitas keuangan.
Salah satu perubahan yang paling signifikan pada standar akuntansi keuangan entitas privat (SAK EP) untuk BPR. Standar SAK EP adalah penggunaan metode suku bunga efektif dan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) aset keuangan berdasarkan bukti objektif penurunan nilai, baik secara individual maupun kolektif. Berat.
Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Infobank Institute, dengan adanya penerapan SAK EP, maka terdapat potensi kekurangan dalam pembentukan penyisihan penilaian kualitas aset (PPKA), sehingga akan berpengaruh pada permodalan yang dimilikinya. Jadi, jangan harap menambah modal dari peningkatan laba, justru yang ada kenaikan pencadangan yang berpotensi mengurangi laba dan bahkan rugi. Jangankan modal bertambah, bisa-bisa malah berpotensi turun.
Dalam kondisi seperti itu, ironisnya OJK dan LPS terkesan “gembira” ketika mengumumkan BPR yang ditutup. Apalagi membuat prediksi bahwa jumlah BPR akan menjadi 1.000. Atau mengatakan tahun ini BPR akan berkurang. Asal tahu saja, para bankir BPR paling takut dengan yang namanya Selasa Kliwon dan Jumat Legi, karena Selasa dan Jumat kerap dianggap sebagai “hari keramat” untuk menutup BPR.
Kondisi di Indonesia tentu berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Belum lagi media, malah tidak sedikit, yang justru ikut memperkeruh keadaan dengan membuat judul berita yang melemahkan, misalnya tahun ini ada delapan bank bangkrut. Seharusnya komunikasi dijadikan sebagai bagian dari kebijakan sehingga terlihat efektivitasnya. Pendek kata, para pejabat jangan “celometan” terkait pencabutan izin usaha bank ini. Tidak perlu pakai bumbu penyedap perkiraan segala. Jangan sampai proses likuidasi BPR menjadi isu nasional, yang makin memperburuk citra BPR di mata masyarakat. Meski dijamin LPS – tetap saja nasabah merasa “buta” dengan masalah keuangan.
Sejauh ini komentar dengan bumbu penyedap atas pencabutan BPR telah mengganggu reputasi BPR. Dulu, pemerintah mengizinkan BPR dengan hanya modal Rp50 juta, dan lalu BPR berjamur. Nah, sekarang harusnya diawasi dengan baik. Jangan seperti kata seorang teman, jangan-jangan karena otoritas tidak mampu mengawasi maka jumlahnya dikurangi. Tentu pandangan ini perlu ditelaah lebih dalam.
Ada baiknya BPR dikembalikan ke khitahnya. Jika tak punya modal besar ya jangan izinkan main terlalu jauh. Cukup di kampungnya saja. Jika mau besar ya tambah modal. Namun, dengan memandang BPR seperti bank umum – termasuk aturannya – maka sejak itu pula BPR akan mengalami kesulitan. Kurang fair menyamakan keduanya. Selain karena skalanya berbeda, cakupannya juga lain. Jadi, menargetkan jumlah BPR menjadi 1.000 tidaklah bijak, tanpa penjelasan yang transparan.
Ketentuan modal minimum sudah digulirkan, dan semua harus mematuhi. Juga, tentang “kawin” sedarah sudah diumumkan. Namun, publik juga tidak lupa ketika MNC Bank dan Nobu Bank belum memiliki modal Rp3 triliun dan jalan keluarnya merger, maka kedua bank itu tidak turun kasta. Kita menunggu merger keduanya sebagai bentuk kredibilitas kebijakan OJK. Atau, akan mengubah ketentuan untuk keduanya yang belum tuntas “kawin” karena soal modal minimum tahun 2023 lalu.
Jangan sampai hal ini juga dicontoh oleh BPR. Atau, jangan-jangan beraninya sama BPR saja dan tidak berani dengan konglomerat pemilik bank umum. Atau, niatnya memang mengurangi jumlah BPR dengan alasan menambah modal, atau karena memang tidak mampu mengawasi BPR yang jumlahnya lebih dari 1.400 unit. Menginginkan jumlah BPR menjadi 1.000 itu dasarnya tidak jelas. Atau, karena BPR hanya dimiliki oleh 173 pemilik – sehingga kepemilikan yang sama dimerger saja.
Sejauh ini penerapan aturan single presence policy (SPP) bagi BPR tidaklah bijak. Aturan SPP bagi bank BUMN saja masih jauh panggang dari api. Maklum, pemerintah sebagai pemilik punya lebih dari satu bank. Sampai saat ini pembentukan holding bank Himbara masih belum terdengar lagi. Pembentukan holding bank Himbara untuk menyiasati aturan SPP ini. Meski tidak ada perkecualian konsolidasi bank, termasuk bank BUMN, bank-bank BUMN memilih untuk membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB). Jujur saya langkah KUB ini tidak menjawab esensi dari single presence policy, tapi itulah kenyataannya.
Juga, dalam rangka penyehatan dan konsolidasi atas perintah OJK, Grup Mega Corpora punya lebih dari tiga bank: Bank Mega, Allo Bank, Bank SulutGo, BPB Sulteng, dan Bank Mega Syariah. Itu dikecualikan, karena ketika terjadi keguncangan terhadap bank-bank, maka grup bertanggung jawab. Padahal, selama ini kalau bank goyang ya pemegang saham yang bertanggung jawab. Apakah dalam rangka konsolidasi atau bukan. Bahkan, Mega Corpora juga dibebaskan terkait dengan maksimal kepemilikan bank yang 40% (POJK No. 56/20/2016).
Kini POJK tentang roadmap BPR sudah diundangkan. Selain ada bank umum, milik swasta, BUMN dan asing, Indonesia juga punya BPR yang turut membangun ekonomi masyarakat kecil. POJK No. 7 Tahun 2024 ini intinya akan mempercepat penciutan jumlah BPR. Waktu empat bulan untuk membuat action plan boleh jadi teramat singkat. Terburu-buru. Selain sebelumnya ada ketentuan modal minimum, dan juga kewajiban “kawin paksa”. Padahal, harusnya merger itu kebutuhan, bukan kewajiban. Tapi, mana berani pemilik BPR melawan POJK ini? Tentunya beda “nyali” OJK terhadap pemilik atau konglomerat pemilik bank swasta.
Jangan jadikan BPR “bulan-bulanan” media dengan menyebut sebagai bank yang terus-menerus salah kelola. Meski diakui juga banyak BPR yang ditutup karena mis management, tapi juga masih banyak BPR yang “seger buger”. Tidak harus disama ratakan. Pernyataan tanpa dasar dengan menyebut akan menutup sekian BPR, dan akan mengurangi jumlah BPR menjadi sekian, itu justru membuat “gering” BPR karena akan dihindari nasabah. Karena BPR dilahirkan oleh regulasi. Sudah waktunya komunikasi dijadikan pendekatan baru dalam pengambilan sebuah kebijakan.
Jujur, pemilik BPR yang tengah melakukan konsolidasi ini sepertinya juga tengah menunggu hasil konsolidasi atawa merger MNC Bank dan Nobu Bank yang sudah lebih dari satu tahun belum tuntas juga. Semoga kita memiliki industri perbankan yang sehat dan berkeadilan dengan menerapkan kebijakan yang sudah dibuatnya sendiri. Jangan sampai karena jumlah BPR nya banyak (meski karena regulasi sebelumnya), otoritas terkesan tidak mampu atau mau melakukan supervisi bagi BPR. Atau, jangan sampai ada kesan OJK hanya “bernyali” kepada BPR dan BPD (POJK 17 Tahun 2023) soal jangan main copot direksi BPD. Sedang kepada konglomerat bank swasta, atau terkait SPP bank BUMN seperti “tak punya nyali”. Atau memang ada maksud lain? Entahlah. Kata Ebiet G. Ade, “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”. Ho ho ho.