Peluang Kredit Properti di Era Penurunan Suku Bunga

Peluang Kredit Properti di Era Penurunan Suku Bunga

Poin Penting

  • Pertumbuhan kredit properti melambat: Per Juni 2025 hanya tumbuh 5,61 persen dengan NPL naik ke 2,64 persen
  • Tantangan utama: lemahnya daya beli masyarakat, kehati-hatian pengembang, serta risiko kredit di segmen MBR meski insentif pemerintah dan likuiditas longgar tersedia.
  • Peluang 2026: Program 3 juta rumah, suku bunga rendah, dan dukungan perbankan dapat menjadi titik balik jika insentif tepat sasaran, kredit murah, dan produk sesuai kebutuhan masyarakat.

Jakarta – Kredit properti masih berlari pelan. Pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir terus melambat, bahkan kerap tertinggal di belakang pertumbuhan kredit perbankan secara umum. Meski begitu, tahun 2026 kelihatannya menyimpan secercah harapan karena kombinasi suku bunga rendah, likuiditas yang longgar, dan dorongan insentif pemerintah yang bisa menjadi pemicu akselerasi baru. Persoalannya, peluang itu tidak otomatis terwujud bila daya beli masyarakat tetap melemah dan developer masih menahan ekspansi.

Pelemahan permintaan rumah pada 2023-2025 jelas memberi dampak besar. Kredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) tertekan oleh turunnya kemampuan masyarakat menanggung cicilan. Sementara, pengembang juga menahan laju proyek akibat ketidakpastian ekonomi.

Kondisi itu berimbas pada melambatnya pertumbuhan kredit properti, diikuti oleh sedikit pemburukan kualitas pembiayaan, yang terlihat dari kenaikan rasio non performing loan (NPL). Artinya, problem permintaan dan risiko kredit datang beriringan, membuat sektor properti makin rapuh menghadapi perlambatan ekonomi.

Cover Majalah Infobank edisi Oktober 2025.

Tapi, di balik itu, peluang tumbuh tetap besar. Program 3 juta rumah bisa menjadi motor penggerak permintaan KPR, terutama di segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selama backlog hunian yang masih puluhan juta unit belum terselesaikan, pasar properti sesungguhnya memiliki captive market yang jelas. Hanya, keberhasilan mengubah kebutuhan menjadi permintaan nyata sangat bergantung pada dukungan stimulus dan daya beli masyarakat. Jika daya beli tak bergerak, backlog akan tetap menjadi angka di atas kertas, bukan real demand.

Baca juga: Kredit Properti Tumbuh 4,6 Persen jadi Rp1.450 T di Agustus 2025

Pemerintah telah menggelontorkan insentif, mulai dari perpanjangan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) hingga stimulus fiskal 8+4+5, ditambah target besar pembangunan perumahan. Dan yang terbaru, subsidi bunga untuk KUR perumahan.

Perbankan juga didorong untuk menjaga pembiayaan tetap murah. Tapi, eksekusi di lapangan menghadapi tantangan lain: lokasi pembangunan rumah yang tak selalu sesuai kebutuhan, risiko gagal bayar di segmen MBR, dan ketidakpastian fiskal jika ekonomi global melemah. Inilah kontradiksi besar: antara peluang pertumbuhan terbuka lebar, tapi jalannya penuh risiko bila kebijakan tidak presisi.

Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank spesialis pembiayaan perumahan sudah mencium peluang lebih besar di depan.

“Salah satu dampak program 3 juta rumah adalah mendorong peningkatan permintaan KPR subsidi, khususnya melalui skema FLPP dan Tapera,” kata Nixon L.P. Napitupulu, Direktur Utama BTN, kepada Infobank.

Ia menekankan bahwa turunnya suku bunga Bank Indonesia (BI) dan tambahan likuiditas pemerintah akan menjadi faktor penting untuk mempercepat penyaluran kredit.

Di sisi pengembang, masalah data backlog menjadi sorotan. Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), Joko Suranto, mengungkapkan bahwa kebutuhan rumah memang besar, tapi penyerapannya lambat karena data calon konsumen tidak terpetakan jelas.

“Kalau data backlog tidak benar-benar detail, kebijakan yang dibuat bisa tidak tepat sasaran. Akibatnya, rumah sudah ada, tapi penjualan tetap susah,” ujarnya kepada Ari Astriawan dari Infobank, September lalu.

Menurutnya, kebijakan fiskal seperti PPN DTP memang membantu, tapi kuncinya tetap ada pada daya beli dan kesesuaian produk dengan kebutuhan masyarakat.

Dengan kondisi itu, 2026 bisa jadi titik balik bila tiga sisi bergerak bersama: pemerintah menyiapkan insentif yang tepat sasaran, perbankan menjaga kredit tetap murah dan fleksibel, serta developer menghadirkan produk sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.

Baca juga: Backlog Perumahan Masih Tinggi, Menko AHY Dorong Kolaborasi Pelaku Properti

Jika daya beli terangkat dan backlog berhasil dikonversi menjadi permintaan, pertumbuhan kredit properti bisa melaju lebih cepat daripada rata-rata industri perbankan. Tapi, bila daya beli tetap lemah dan risiko kredit tak terkendali, sektor ini akan terus berjalan lambat, meski peluang ada di depan mata.

Berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI) per Juni 2025, kinerja kredit properti, yang terdiri atas kredit konstruksi, kredit real estat, KPR, KPA, serta kredit pemilikan ruko dan rukan, tumbuh 5,61 persen secara tahunan atau menjadi Rp1.602,01 triliun, dengan NPL 2,64 persen. Pertumbuhan itu lebih lambat dibandingkan dengan akhir 2024 yang tercatat 6,31 persen, dengan NPL 2,49 persen. (*) Ari Nugroho

Related Posts

News Update

Netizen +62