Jakarta– Sejumlah pakar hukum menegaskan bahwa pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) bank hanya bisa dipidana jika penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesengajaan, penyalahgunaan wewenang atau benturan kepentingan yang dilakukan direksi, dewan komisaris, maupun karyawan bank. Jika tidak terbukti maka pelanggaran SOP merupakan pelanggaran administrasi yang tidak dapat dipidana.
Penegasan ini disampaikan oleh Pakar Hukum Perbankan DR Yunus Husein, Pakar Hukum Tata Negara Prof. DR Refli Harun, dan Pakar Hukum Tata Negara DR Margarito Kamis, terkait peranturan perundangan lain sebagaimana dimaksud di dalam pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan. Adapun bunyi Pasal 49 ayat (2) huruf b anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam pidana.
Pakar Hukum Perbankan yang juga mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan Yunus Husen memandang Pasal 49 ayat (2) huruf b merupakan ketentuan pidana yang merupakan “administrative penal law” ketentuan pidana yang mendukung ketentuan administratif yang ada dalam UU Perbankan.
“Artinya harus ada dulu pelanggaran yang bersifat administratif yang harus ditegakkan dengan hukum administratif terlebih dahulu. Apabila penegakan hukum dengan hukum administratif tidak berjalan barulah dipakai penyelesaian secara pidana dengan menerapkan sanksi pidana,” kata Yunus, Rabu, 17 Juli 2020.
Dijelaskan Yunus, norma-norma dalam hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata.
“Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau Ultimum Remedium,” tuturnya.
Dalam kasus penetapan 20 tersangka mantan direksi, komisaris, dan pegawai Bank Swadesi yang saat ini telah diakusisi oleh Bank of India Indonesia (BOII), dikatakan Yunus hingga kini belum ada temuan dari pengawas dan regulator bank dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bahwa Bank Swadesi melanggar Undang-undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya surat pembinaan (supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan pengawas kepada Bank.
“Logika sederhanya, jika langkah-langkah yang diperintahkan oleh pengawas bank tidak ada, maka berarti tidak ada pelanggaran yang dilakukan bank,” katanya.
Yunus Husein yang dihadirkan penyidik sebagai saksi ahli dalam gelar perkara kasus tersebut di Bareskrim pada pekan lalu memandang, fakta bahwa tidak adanya tindakan pengawasan yang dikenakan kepada bank memiliki konsekuensi berupa tidak adanya pengetahuan dan kehendak para tersangka untuk melakukan tindak pidana yang disangkakan.
“Dengan demikian Dalam konteks kasus ini pelanggaran SOP bukanlah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2),” ucapnya.
Pandangan senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Refli Harun.
Menurut Refli, yang dimaksud peraturan perundangan lainpada pasal 49 ayat (2) huruf b adalah seluruh peraturan yang dibuat oleh negara maupun perusahaan yang mengikat secara hukum.
Namun Refli mengingatkan jika terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan, dalam hal ini melanggar SOP bank, maka harus dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan wewenang dan jabatan atau benturan kepentingan yang melatarbelakngi pelanggaran tersebut.
Jika ternyata tidak ditemukan bukti-bukti dimaksud maka pelanggaran SOP menurut Refli masuk dalam kategori pelanggaran administrasi yang sanksinya tidak dapat digiring atau dipaksakan ke ranah pidana.
“Pelanggaran SOP harus dapat dibuktikan unsur penyalahgunaan wewenang maupun benturan kepentingan baru bisa dipidana. Sebaliknya jika hanya kesalahan administrasi maka sanksinya pun administrasi,” jelas Refli.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai SOP bukanlah peraturan lain sebagaimana dimaksud di dlaam pasal 49 ayat (2) huruf b sejauh SOP tersebut belum dituangkan dalam peraturan perbankan dan diundangkan dalam lembaran negara.
Margarito menegaskan SOP internal bank tidak bisa dijadikan landasan untuk mempidanakan seseorang.
“Tidak bisa. SOP tidak bisa jadi landasan untuk menghukum atau mempidakan orang. Tidak bisa,” jelasnya.
Kasus ini bermula pada bulan Maret dan Juni 2008 dimana Debitur Ratu Kharisma mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Swadesi sejumlah Rp10.500.000.000 dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi (M2) di daerah Seminyak, Bali.
Baru membayar angsuran dan bunga sejumlah ± Rp300.000.000, debitur kemudian lalai atas kewajibannya dan tercatat sejak bulan Juni 2009 tidak lagi membayar bunga dan angsuran. Setelah diberitahukan, peringatan dan pemutusan kredit oleh Bank dan tidak juga melaksanakan kewajibannya maka berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Keuangan No. 40 tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 93 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Lelang dan pencatatan objek agunan melibatkan Kantor Pertanahan (BPN), Bank mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar.
Hasilnya aset tersebut laku dilelang dengan nilai Rp6.386.000.000 setelah melalui lima kali proses lelang. Namun hasil lelang tersebut diprotes karena nilai lelang dianggap jauh di bawah nilai pasar. (*)