Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin, 15 September 2025. (Tangkapan layar YouTube @SekretariatPresiden: Julian)
Poin Penting
Jakarta - Transisi kepemimpinan Menteri Keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani kepada Purbaya Yudhi Sadewa menjadi perhatian utama pelaku pasar karena dinilai akan menentukan arah kebijakan fiskal ke depan.
Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto menjelaskan, saat ini pasar tengah mencermati arah kebijakan fiskal Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa.
“Sejak 2016, Sri Mulyani dikenal menekankan disiplin fiskal dan transparansi anggaran. Dengan pergantian ini, mandat Presiden kepada Menteri Keuangan baru adalah mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi 8 persen,” ujar Rully di Jakarta, Selasa, 23 September 2025.
Baca juga : Menteri Keuangan Baru, Tantangan Lama
Menurut Rully, ke depannya publik akan melihat kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dengan peran pemerintah dan swasta yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan
Lebih lanjut, kebijakan ekonomi yang menjadi sorotan pasar di bawah kepemimpinan Menkeu baru antara lain, pergeseran dari disiplin fiskal menuju kebijakan pro-growth dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Lalu, kebijakan fiskal yang lebih ekspansif, melalui peningkatan belanja pemerintah dan dukungan terhadap program prioritas, salah satunya adalah dengan menyalurkan dana kredit ke bank-bank BUMN senilai Rp 200 triliun.
Ketiga, optimalisasi peran sektor swasta dan pemerintah dalam mendorong investasi dan konsumsi.
Baca juga: Mengintip Penurunan Harta Nadiem Makarim usai Tak Lagi Jadi Menteri Jokowi
Dia menambahkan bahwa meskipun latar belakang Purbaya sebagai ekonom dan mantan pejabat BUMN memberikan keyakinan akan kapasitasnya, pelaku pasar tetap menunggu kejelasan mengenai komitmen disiplin fiskal, transparansi anggaran, dan sumber pembiayaan program prioritas pemerintah.
Dengan demikian maka implikasi kebijakan baru tersebut bagi pasar modal adalah volatilitas jangka pendek yang berpotensi berlanjut, tetapi peluang investasi tetap terbuka dalam periode konsolidasi.
“Pasar masih menantikan kepastian apakah kebijakan ekspansif ini akan tetap menjaga keberlanjutan fiskal. Ketidakpastian tersebut menjadi salah satu faktor yang menahan pergerakan indeks saham dan meningkatkan volatilitas pasar obligasi,” jelas Rully.
Menurut dia, Mirae Asset memprediksi bahwa pelemahan pasar saham masih berpotensi berlanjut dalam jangka pendek. Namun, kondisi tersebut justru dapat menjadi momentum bagi investor untuk membeli di saat koreksi (buy on weakness) pada saham-saham pilihan.
Rully pun menyarankan sektor perbankan yang diprediksi kinerjanya dapat membaik terutama untuk bank BUMN dengan adanya penyaluran dana Rp 200 triliun, asalkan tidak diikuti dengan kenaikan kredit tidak lancar (NPL) yang signifikan.
Baca juga: Penempatan Rp200 Triliun ke Bank Dinilai Tekan Risiko Pelemahan Rupiah
Selain saham-saham emiten perbankan, dia juga merekomendasikan saham TLKM, TOWR, MTEL, JPFA, KLBF, dan BRPT sebagai saham pilihan yang berpotensi menarik dalam periode konsolidasi ini. (*)
Editor: Yulian Saputra
Page: 1 2
Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More
Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More
Poin Penting IFAC menekankan pentingnya kolaborasi regional untuk memperkuat profesi akuntansi di Asia Pasifik, termasuk… Read More
Poin Penting BAKN DPR RI mendorong peninjauan ulang aturan KUR, khususnya agar ASN golongan rendah… Read More
Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More
Poin Penting Konsumsi rumah tangga menguat jelang akhir 2025, didorong kenaikan penjualan ritel dan IKK… Read More