Jakarta – PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) memproyeksikan penerbitan baru surat utang korporasi pada 2024 akan berkisar pada Rp148,15 hingga Rp169,05 triliun, dengan titik tengah Rp155,46 triliun.
Proyeksi terkait dengan nilai penerbitan baru surat utang tersebut diungkapkan oleh Kepala Divisi Riset Ekonomi PEFINDO, Suhindarto dalam Media Forum PEFINDO yang dilangsungkan secara virtual di Jakarta, 11 Desember 2023.
“Untuk kebutuhan refinancing di tahun 2024 mendatang kami perkirakan akan lebih tinggi, untuk jatuh temponya lebih tinggi dibandingkan dengan posisi 2023 ini, kami memperkirakan hingga akhir tahun kemungkinan jatuh tempo di 2024 bisa mencapai Rp153,1 triliun,” ucap Suhindarto.
Baca juga: Penerbitan Surat Utang Nasional per November 2023 Capai Rp120,6 T, Sektor Ini Mendominasi
Dirinya menilai terdapat beberapa hal yang akan menjadi faktor pendorong. Salah satunya adalah perkiraan aktivitas sektor rill yang terjaga yang didukung oleh adanya aktifitas kampanye dari pemilu serentak, serta memicu permintaan tetap kuat dan stabil.
“Lalu kita juga melihat pasca pemilu karena sudah jelas siapa pemenangnya dari kontestasi yang sedang berlangsung atau kondisi wait and see yang selama ini melingkupi dunia usaha juga akan cenderung mengalami penurunan,” imbuhnya.
Di sisi lain, PEFINDO melihat dengan adanya kondisi higher for longer dan kebutuhan akan refinancing di tahun depan bagi pasar surat utang korporasi juga cukup besar. Suhindarto melihat para korporasi ini akan melakukan adaptasi atau strategi ke depannya untuk menghadapi kondisi suku bunga tinggi.
Baca juga: Warisan Utang Jokowi Nyaris Tembus Rp8.000 T, Anies, Prabowo, dan Ganjar Siap Tanggung?
“Korporasi akan cenderung menerbitkan surat utang dengan tenor pendek yang satu tahun sehingga dengan ini didasarkan pada ekspektasi tahun depan yang lebih baik atau diturunkan, mereka bisa refinancing lagi utangnya dengan bunga yang lebih rendah,” ujar Suhindarto.
Hal lain yang mendorong proyeksi tersebut adalah dengan likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat, memicu bunga pinjaman yang ditawarkan menjadi semakin mahal dan mendorong permintaan akan sumber pembiayaan alternatif, salah satunya melalui penerbitan surat utang. (*)
Editor: Galih Pratama