Oleh Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI
BADAN Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,31% pada 2022. Pertumbuhan ekonomi yang tertinggi sejak 2016 sekaligus mengkonfirmasi bahwa pandemi COVID-19 berakhir. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kinerja sektor keuangan tahun 2022 yang salah satu indikatornya kredit perbankan tumbuh 11,31%.
Di balik laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan kredit perbankan yang sudah melebihi rata-rata lima tahun sebelum pandemi, lalu bagaimana dengan tingkat kesejahteraan masyarakat?
Ternyata, out perekonomian dan kredit perbankan yang tumbuh cukup baik kurang dinikmati masyarakat papan bawah karena tingkat kemiskinan sampai September meningkat tipis dari 9,54% per Maret 2022 menjadi 9,57% atau 26,36 juta jiwa per September 2022. Masih besarnya angka kemiskinan kurang memberi tenaga bagi pertumbuhan konsumsi individu yang hanya tumbuh 4,93% dalam PDB. Komponen ekspor tumbuh paling signifikan yaitu 16,28%. Artinya, banyak masyarakat papan bawah yang ketinggalan atau tidak ikut menikmati pemulihan ekonomi yang terjadi pada akhir masa pandemi tahun lalu.
Boleh jadi dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang besar termasuk bantuan sosial (bansos) serta relaksasi restrukturisasi kredit terdampak pandemi sejak 2020 lebih dimanfaatkan untuk penyelamatan dunia usaha, termasuk usaha mikro kecil menengah (UMKM), serta kehidupan ekonomi masyarakat paling bawah yang rentan karena sudah masuk dalam kategori miskin. Sedangkan kelompok masyarakat kelas menengah bawah yang tidak kecipratan dana PEN banyak yang jatuh ke kelompok miskin sehingga angka kemiskinan pun bertambah.
Begitu juga UMKM yang tidak semua lolos dari kebangkrutan akibat pandemi sehingga tidak bisa memperoleh manfaat dari momentum pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kesejahteraan paling besar dinikmati pelaku ekonomi di sektor komoditas yang berpesta pora karena tingginya harga komoditas dunia, seperti batubara dan minyak sawit. Sementara, tenaga kerja di sektor ini tak sebanyak tenaga kerja di segmen UMKM terutama sektor pertanian. Bahkan, ketika kredit perbankan 2022 tumbuh 11,35%, kredit UMKM hanya tumbuh 10,46% dan kredit pertanian naik 10,30%.
Tingginya kemiskinan juga tidak lepas dari rendahnya literasi keuangan yang menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) 2022 indeksnya literasi keuangannya hanya sebesar 49,68%. Perlu diketahui seperti di berbagai penelitian mengatakan bahwa rumah tangga yang memiliki pengetahuan pada lembaga resmi penyedia pinjaman memiliki peluang menjadi sejahtera dibandingkan yang tidak. Oleh sebab itu, menjadi tugas regulator di sektor keuangan seperti OJK bersama lembaga keuangan yang diawasi untuk lebih giat mengedukasi dan mensosialisasikan solusi-solusi keuangan untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat.
Betul bahwa sektor keuangan saat ini makin inovatif dan cepat dalam memberi pelayanan baik konvensional maupun digital sehingga indeks inklusi keuangannya mencapai 85,10% naik signifikan dari indeks inklusi 2019 yang sebesar 76,19%. Namun, meskipun indeks literasinya naik dari posisi 38,03% pada 2019 menjadi 49,68% pada 2022, tetapi dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan yang tinggi bisa menimbulkan masalah.
Seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir bahwa makin maraknya kemudahan akses berbagai produk dan jasa keuangan yang tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang memadai itu membuat masyarakat terpancing untuk membeli produk yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan atau kemampuannya. Misalnya penyedia pinjaman online (pinjol) yang mengabaikan apakah konsumennya memiliki kapasitas untuk membayar cicilan atau tidak yang penting bisa menyalurkan pinjaman. Begitu juga perusahaan asuransi jiwa yang tenaga pemasarnya tidak terbuka dalam menjelaskan produk dan risikonya yang penting produknya terjual. Dan yang lebih parah masyarakat dengan literasi keuangan yang rendah mudah terbuai investasi abal-abal yang hanya menjual mimpi mengenai imbal hasil yang tidak masuk akal.
Sebagai penutup, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang penting untuk mengurangi pengangguran, namun besarnya PDB harus bisa menciptakan trickle down effect yang dinikmati masyarakat lapis bawah. Melalui kebijakan fiskalnya pemerintah harus memajukan sektor-sektor usaha yang menyerap tenaga kerja banyak agar mereka yang bekerja di sana memiliki disposible income yang memadai untuk bisa memanfaatkan berbagai fasilitas keuangan dari sektor jasa keuangan.
Kemudian, OJK dan regulator lain di sistem keuangan bersama industri yang diawasinya harus berperan dalam mengedukasi dan meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Jangan hanya mendorong-dorong adanya pertumbuhan untuk dijadikan indikator kinerja kelembagaan namun banyak masyarakat yang tidak teredukasi sehingga salah dalam memanfaatkan berbagai produk dan jasa keuangan, apalagi terjerembab dalam investasi bodong. (*)