Jakarta – Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Pamekasan menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Madura.
Terlebih, kepada Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Madura, M. Syahirul Alim yang tidak mengindahkan permohonan untuk beraudiensi dengan PC PMII Pamekasan.
Ketua umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Pamekasan Homaidi menuturkan, saat beraudiensi di kantor Bea Cukai Madura, Selasa, 4 Februari 2025, yang bersangkutan berhalangan hadir dan diwakilkan oleh staf bagian humas.
“Agenda audiensi yang sudah dijadwalkan dua kali, kami merasa tidak puas karena diterima oleh staf yang pandangannya bersifat normatif dan menampung aspirasi kami saja. Padahal yang kami perlukan adanya dialog yang tujuannya mencari keputusan (decision making),” terangnya dikutip Jumat, 7 Februari 2025.
Kehadiran Homaidi bersama belasan pengurus sendiri bermaksud ingin menyampaikan aspirasinya terkait tingkat pengawasan kepala kantor Bea Cukai Madura yang dirasa lemah, kemudian mengenai kebijakan yang kurang fair alias diskriminatif.
Baca juga : APBN Meleset, Bea Cukai Catatkan Capaian Rp300,2 Triliun di 2024
“Kami merasa didiskriminasikan dengan kebijakan yang tidak memberikan rasa keadilan. Kami masih beritikad baik bisa beraudiensi dengan kepala kantor Bea Cukai Madura untuk mencari solusi bersama,” jelasnya.
Ia pun membeberkan beberapa persoalan yang terjadi di Madura. Pertama, di Madura peredaran rokok polos (tanpa pita cukai) makin masif peredarannya. Hal itu merugikan para pelaku industri kretek di tingkat industri kecil dan menengah.
Temuan di lapangan, kata Homaidi, beberapa industri kretek kecil yang selama ini mematuhi peraturan pemerintah harus berhadapan dengan para pelaku usaha rokok polos di pasar. Hal itu akan berdampak langsung pada daya beli mayoritas konsumen rokok di segmen ekonomi menengah ke bawah.
“Dampak terbesarnya justru berisiko mengurangi pendapatan negara dari sektor cukai, karena konsumen tidak memiliki daya beli untuk produk yang lebih mahal atau rokok legal,” katanya.
Baca juga : Bea Cukai Pastikan Harga Eceran Rokok Konvensional dan Elektrik Naik di 2025
Kedua, selama ini industri kretek kelas kecil dan menengah memiliki peran penting dalam ekonomi lokal.
Mereka menciptakan lapangan kerja tidak hanya di sektor industri, tetapi juga dalam rantai pasokan seperti pengecer, distributor, petani tembakau, dan pekerja kasar di industri pengolahan tembakau.
“Data dari beberapa daerah menunjukkan bahwa pabrik kelas menengah memiliki tenaga kerja dengan proporsi yang signifikan dalam skala ekonomi lokal,” ujarnya.
Ketiga, tingkat pengawasan kantor Bea Cukai harus extra ordinary. Dikatakan Homaidi, temuan di lapangan tumbuh meningkat industri rokok di Madura. Pihaknya, mendorong pengawasan ekstra guna memastikan bahwa industri tersebut tidak memproduksi rokok polos.
“Kepala kantor Bea Cukai Madura seharusnya menggandeng aparat hukum guna melakukan pengawasan intensif dan memberikan efek jera sebagaimana peraturan yang ada,” katanya.
Catatan Kritis Bea Cukai Madura
Karena itu, PC PMII Pamekasan memberikan beberapa catatan kritis untuk kantor Bea Cukai Madura. Pertama, merumuskan kebijakan yang fairness dan berkeadilan. Sebab, kebijakan yang diskriminatif akan berdampak pada penurunan tenaga kerja dan perputaran ekonomi melambat.
“Ketika banyak pekerja kehilangan pekerjaan, daya beli masyarakat setempat juga akan menurun, yang pada gilirannya memengaruhi berbagai bisnis lokal,” katanya.
Kedua, pembinaan berkala kepada pabrik. Pabrikan baru perlu didorong untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan regulasi dan diberikan insentif atau subsidi untuk mengurangi beban akibat kenaikan cukai dan aturan lain.
“Ini penting agar pabrikan rokok tidak memproduksi rokok polos yang merugikan negara,” terangnya.
Ketiga, mendorong DPR RI khususnya Komisi XI agar melakukan pengawasan intensif ke kantor Bea Cukai baik di pusat dan daerah mengenai implementasi pengawasan yang kurang optimal.
“Sebagai bagian dari mitra kerja Bea Cukai, Komisi XI turun ke lapangan di Madura dan kami siap mendampingi,” ujarnya.
Keempat, pendekatan multisolusi dan kebijakan yang berbasis data. Pemerintah dapat menyeimbangkan antara peningkatan pemasukan negara dan keberlanjutan pabrikan kelas menengah dan kecil, demi menjaga stabilitas ekonomi lokal.
“Hal ini mencakup perencanaan yang cermat dan kolaborasi dengan berbagai pihak terkait, baik dari sisi industri maupun masyarakat sehingga tercipta iklim usaha industri kretek yang berkeadilan,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama