Jakarta – Perusahaan leasing (multifinance) masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur tanpa melalui pengadilan negeri (PN) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Fidusia. Putusan MK tersebut justru memperjelas Pasal 15 Undang-undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cedera Janji antara Debitur dan Kreditur.
“Jadi, leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan. Dengan catatan, prosedur sudah dijalankan,” ujar Suwandi Wiratno selaku Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dalam acara Infobanktalknews Media Discussion dengan tema “Pasca-Putusan MK Tentang Fidusia: Leasing Masih Bisa Tarik Kendaraan Debitur Macet”, di Jakarta, Senin, 10 Februari 2020.
Selain Suwandi, hadir sebagai pembicara adalah Bambang W. Budiawan selaku Kepala Departemen Pengawasan IKNB Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Firman Wijaya yang merupakan pengamat keuangan; dan Eko B. Suprianto, Chairman Infobank Institute.
Menurut Suwandi, saat ini ada simpang-siur pendapat di masyarakat pasca-putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia. “Bahwa seolah-olah pemegang hak fidusia (leasing) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri,” jelas Suwandi.
Padahal, lanjut dia, sejatinya tidak demikian. Perusahaan leasing masih bisa menarik kendaraan dari debitur macet tanpa pengadilan. “Keputusan MK itu tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Ada ruang lebar untuk mengeksekusi jaminan debitur macet,” tegasnya.
Dalam putusan MK disebutkan, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanprestasi. Sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cedera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate executie).
Putusan MK itu juga menyatakan, mengenai wasprestasi antara pihak debitur dan kreditur harus ada kesepakatan terlebih dahulu untuk menentukan kondisi seperti apa yang membuat wanprestasi. Jadi, ada perjanjian sebelumnya, berapa pinjamannya, berapa bunga yang harus dibayar, termasuk jangka waktunya. Juga batas waktu pembayaran angsuran, bagaimana jika tidak membayar angsuran, dan berapa dendanya.
Meski pasca-putusan MK tentang Fidusia ini masih bisa menarik kendaraan, pihak leasing akan lebih hati-hati dalam mengeksekusi hak fidusianya. Leasing sepertinya juga akan akan lebih selektif dalam memberikan pembiayaan. Menaikkan down payment (DP) dan memperketat manajemen risiko, adalah dua kemungkinan yang akan diambil.
“Hal ini dilakukan agar terhindar dari jebakan debitur sontoloyo, yakni debitur yang tidak mau membayar utangnya, tapi masih tetap ingin menguasai kendaraannya yang belum lunas dibayar,” ujar Eko.
Selama ini bisnis model perusahaan leasing hanya mengandalkan uang muka, dengan jaminan BPKB atas nama debitur. Bayangkan, hanya bermodal uang muka 10% atau lebih kecil, seseorang sudah bisa membawa kendaraan, meski BPKB sebagai jaminan atas nama debitur. Jika terjadi wanprestasi, maka kreditur akan mengeksekusi sebagai pemegang fidusia. (*)
Editor: Rezkiana Np