Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, pemerintah bisa memberikan insentif bagi industri yang terdampak karena pandemi dan pelemahan ekonomi global. Hal ini sejalan dengan belum pulihnya betul sektor industri dari dampak pandemi dan harus menghadapi ketidakpastian global.
“Kalau ditanya terkait dengan bagaimana kita bisa menjaga sektor manufaktur maka perlu dilihat kembali sektor mana yang cukup terdampak akibat Covid-19 lalu dan sampai dengan sekarang belum terlihat pemulihannya dan inilah yang harus dipetakan oleh Kemenperin,” ujar Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho dikutip Kamis, 19 Januari 2023.
Sejak pandemi sampai dengan masa pemulihan sekarang ini, masih ada industri yang belum pulih. “Kalau kita lihat justru pemetaan dari sub sector yang masih terdampak dan masih belum cukup pulih tersebut itu stimulus yang diberikan masih belum ada menurut saya gitu ya, masih belum ada kebaruan, nah ini yang menurut saya perlu kembali diingatkan gitu ya kepada pemerintah,” jelas Andry.
Misalnya saja industri tekstil dan alas kaki. Mereka sangat terdampak dan belum pulih sampai sekarang. Mereka digempur produk impor dan juga menurunnya permintaan dari luar negeri. “Selain itu tingginya inflasi ini masih belum bisa memulihkan kinerja subsektor industri dalam negeri yang sudah berbasis ekspor. Mungkin kalau saya bisa bilang mayoritas ekspor seperti tekstil pakaian jadi, alas kaki dan sebagainya,” kata Andry.
Alhasil, ketika pemerintah mengetahui industri mana yang bisa diselamatkan, maka extra effort mesti diberikan ke sana. Dia menilai sejauh ini banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran.
“Salah satunya mungkin kalau bisa kita sebutkan seperti mobil listrik, fasilitasi subsidi dari mobil dan motor listrik itu kan semata-mata bukan menguntungkan industry, tapi justru menguntungkan dealer-dealer dan juga pedagang mobil dan motor,” ungkap Andry.
Pemerintah pun diminta untuk memberi perhatian khusus pada industri yang terdampak, selain tentunya menggali potensi ekspor dan hilirisasi. ”Kembali lagi yang dikejar itu sebetulnya apa, dan apa yang diprioritaskan di tahun ini,” tandas Andry.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah tetap optimis, waspada, dan antisipatif. Pemerintah juga menyiapkan berbagai strategi dan kebijakan agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% (yoy) di tahun 2023 dapat tercapai.
“Kalau kita bicara global, memang global masih ada awan hitam, bahkan Managing Director IMF mengatakan Indonesia itu adalah the bright sight in the dark. Nah, tentu Indonesia berharap, karena kita punya resiliensi selama penanganan pandemi covid-19, ini juga berharap punya resiliensi untuk di tahun 2023 ini,” tegas Menko Airlangga yang juga Ketum Golkar ini.
Untuk menjaga kinerja sektor manufaktur, Menko Airlangga mengatakan bahwa Pemerintah perlu optimis, tetap menjaga demand, serta melakukan tindak lanjut hilirisasi dan pengembangan ekosistem di sektor manufaktur. Sedangkan dari sektor riil, Pemerintah akan meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor yang semakin berdaya saing.
Pemerintah, lanjut Airlangga, juga telah menetapkan kebijakan larangan ekspor bauksit yang akan berlaku mulai Juni 2023. Ia mengungkapkan sebagian besar kebutuhan alumina masih impor, sehingga pembangunan smelter di dalam negeri menjadi prospek yang menjanjikan.
Menanggapi hal itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan kebijakan tersebut tidak serta-merta akan berimbas pada dinamika pertumbuhan ekonomi tahun 2023, meski tetap akan berpengaruh terhadap neraca dagang Indonesia.
“Memang pelarangan ekspor tentu akan mempengaruhi kinerja neraca dagang tapi juga kita perlu melihat bagaimana kinerja dari komoditas lain di luar bauksit,” ungkapnya.
Menurut Yusuf, pelarangan bauksit itu harus dilihat dengan perspektif jangka panjang. “Yang perlu dilihat dari kebijakan ini adalah dampak jangka panjang yang diharapkan karena kita tahu bahwa proses dari hilirisasi adalah menambah nilai tambah suatu produk untuk menjadi lebih besar dibandingkan posisi sebelumnya,” tambahnya.
Berkaca pada kebijakan pelarangan ekspor nikel, kebijakan itu tidak serta-merta mempengaruhi kinerja ekspor nikel pada satu tahun, tetapi baru berdampak pada 3-4 tahun setelahnya. “Diharapkan dengan semakin banyak smelter proses dari pelarangan, biji bauksit ini bisa diolah di dalam negeri sehingga nanti diolah menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih besar,” pungkasnya. (*)