Oleh: Eko B Supriyanto
Nafsu berkuasa menjalar ke mana-mana. Aroma haus kekuasan sudah menyebar. Bak virus. Tidak hanya di eksekutif, tapi juga di legislatif. Bukan semata di tingkat daerah, tapi juga tingkat nasional. Ada dua beleid: Peraturan Pemerin-tah (PP) Nomor 54/2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan rencana revisi Undang-Undang Nomor 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keduanya membuat BUMD/BPD dan BUMN seperti memutar jarum jam balik ke belakang.
Kedua beleid itu kacau. Keduanya sama-sama ingin punya peran dan nafsu “super adidaya” di BUMD/BUMN. Bedanya, yang PP–pihak eksekutif pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri) ingin punya peran di BUMD, dan yang RUU menempatkan legislatif (DPR RI). Politik bagi-bagi dan cenderung tidak proporsional. Kedua beleid itu akan menjadikan BUMD dan BUMN kembali ke “zaman batu”–ketika prinsip GCG belum ada.
PP Nomor 54/2017, beleid yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2017, berisi 17 bab dan 141 pasal. Pasal yang menunjukkan peran besar dalam bagi-bagi kursi di pasal 36–menyangkut kursi dewan pengawas dan komisaris untuk perseroan terbatas (PT). Setiap BUMD harus ada unsur komisaris dari pemerintah pusat. Pasal ini memaksa BUMD untuk memasukkan nama-nama pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai komisaris.
Bayangkan, dibutuhkan berapa pejabat Kemendagri untuk menjadi komisaris di seluruh BUMD se-Indonesia, yang jumlahnya 1.700 BUMD. Hampir seluruh pejabat Kemendagri akan menjadi komisaris BUMD. Jelas ini dipaksakan dan hendak bagi-bagi “rezeki” saja.
Sementara, poin-poin yang membuat PP Nomor 54/2017 ini tidak relevan dengan zaman dan terutama bagi bank adalah adanya benturan dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Lalu, apa yang jadi soal bagi BPD?
Soal kepemilikan saham yang harus 51% (pasal 5, ayat 2); perseroan daerah merupa-kan BUMD yang berbentuk PT, yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh satu daerah. Sementara, dalam POJK 56/POJK 03/2016 tentang Kepemilikan Bank Umum; batas maksimum kepemilikan saham pada bank (pasal 2, ayat 2) bagi setiap kategori pemegang saham ditetapkan 40% dari modal bank.
Selain banyak benturan, PP ini juga sulit dilaksanakan. Dua hal soal kepemilikan 51% dan rombongan komisaris dari pusat itulah yang krusial. Jangan sampai PP ini hanya dilaksanakan secara parsial.
Sementara, beleid kacau kedua yaitu tentang rencana revisi UU BUMN yang menempatkan peran DPR lebih besar. Pertama, pasal pengertian BUMN tak lagi BUMN induk, tapi termasuk anak, cucu, cicit, dan penyertaan saham–semuanya disebut BUMN. Nah, jika RUU ini menjadi UU, maka kita tak hanya punya 143 BUMN, tapi akan punya sekitar 800 BUMN dengan memperhitungkan anak, cucu, dan penyertaan BUMN.
Kedua, pasal yang menimbulkan komplikasi rumit adalah ikut campurnya DPR dengan urusan organ korporasi. Substansi dari pasal ini adalah kriteria dan penentuan direksi dan komisaris dan mengamputasi kewenangan pemegang saham selaku pemilik—selama ini diwakili oleh Kementerian BUMN. Seleksi calon direksi dan komisaris harus lewat DPR.
Jika jumlah BUMN beserta anak, cucu, cicit sebanyak 800 perusahaan dengan masing-masing 8 direksi dan komisaris per perusahaan, maka akan ada 64.000 calon dan setiap perusahaan harus menyedia-kan tiga calon maka akan ada 192.000 calon setiap periode. Statistik sederhana ini jelas tidak memungkinkan bagi DPR dapat melakukan fit and proper test dengan benar selama 5 tahun masa DPR.
Hal lain yang perlu dicermati adalah menyangkut pasal pelepasan aset BUMN, termasuk anak dan cucu BUMN. Juga, bukan perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Bagaimana jika bank yang akan ekspansi dan membu-tuh-kan modal? Sekilas tampak seperti untuk “kepentingan nasional”, tapi sejujurnya bertolak belakang dengan kondisi BUMN dan zaman ini.
Untuk itu, majalah ini akan terus mempertanyakan PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, khususnya mengenai BPD. Juga terus mempertanyakan dan mengawal RUU BUMN yang diinisiasi oleh DPR–yang jadi prioritas tahun 2019. Kedua beleid itu sangat kacau dan memperlemah BUMD/BPD, juga BUMN yang sudah di jalan yang benar dengan holdingisasi dan sinergi BUMN.(*)
Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank