Jakarta – Penemuan kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia menurun tajam akibat pandemi COVID-19. Adanya wabah virus corona baru ini menyebabkan sebagian besar sumber daya yang ada di masyarakat ditujukan untuk mengatasi penyakit tersebut. Akibatnya, penanggulangan penyakit lainnya menjadi terabaikan, termasuk TBC.
Project Leader Zero TBC Yogyakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKM) UGM, dr. Rina Triasih, M.Med(Paed), Ph.D, Sp.A (K) menyampaikan informasi bahwa pandemi COVID-19 membuat temuan kasus TBC di Indonesia menurun. Data Kemenkes 2020 mencatat hanya ada 271.750 kasus TBC yang ternotifikasi atau ditemukan, menurun tajam jika dibandingkan temuan pada tahun 2019 sejumlah 568.987 kasus. Sementara itu, perkiraan jumlah kasus di Indonesia pada tahun 2020 sekitar 840.000.
“Hampir seluruh sumber daya yang ada di sektor kesehatan maupun sektor lainnya dioptimalkan untuk menangani COVID-19. Kondisi tersebut berdampak pada penemuan kasus dan penanganan TBC jadi menurun signifikan,” kata Rina melalui keterangan resminya di Jakarta, Sabtu 27 Maret 2021.
Rina mengatakan kondisi tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah yang menargetkan dapat mengeliminasi TBC pada 2030 mendatang. Dengan masih banyaknya pasien TBC yang belum didiagnosis dan diobati, berarti masih banyak sumber penularan TBC di masyarakat.
Apabila tidak tertangani dengan baik dan benar tidak hanya akan menambah jumlah kasus TBC baru, tetapi juga bisa meningkatan angka kematian. Seperti diketahui saat ini Indonesia menjadi negara penyumbang kasus TBC terbesar kedua di dunia.
Peneliti pada Pusat Kajian Kedokteran Tropis UGM ini jug mengungkapkan perlu dilakukan upaya tambahan yang inovatif dan komprehensif agar Indonesia dapat mencapai target eliminasi pada 2030. Pendekatan komprehensif “temukan, obati dan cegah” diperlukan untuk mencapai target tersebut.
Pendekatan inilah yang digunakan oleh program Zero TB Yogyakarta untuk berkontribusi dalam eliminasi TBC, yang dimulai dari Yogyakarta. Upaya menurunkan kasus TBC tidak hanya dengan menemukan kasus dan melakukan pengobatan saja, tetapi juga dengan memberikan terapi pencegahan.
Ia menyebutkan jika sejak tahun 2006 WHO sudah merekomendasikan pemberian terapi pencegahan TBC, yang saat itu dikhususkan untuk anak balita yang kontak erat dengan pasien TBC dan untuk pasien HIV. Namun demikian, seperti di negara-negara lainnya di dunia, implementasi di Indonesia belum maksimal. Beberapa laporan dan penelitian telah menunjukkan, bahwa eliminasi TBC di tahun 2030 tidak akan tercapai jika hanya mengobati pasien yang sakit TBC.
“Tanpa dikombinasikan dengan pemberian terapi pencegahan akan sulit mencapai eliminasi TBC 2030,” terangnya.
Ia pun menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam pemberantasan TBC. Menurutnya, pemberantasan TBC bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja, tetapi semua pihak. Karenanya harus ada kerja sama dan sinergi lintas sektoral dalam penanganan TBC dan mewujudukan Indonesia bebas TBC 2030 mendatang. Di samping itu, peran aktif masyarakat juga sangat diperlukan. (*)
Editor: Rezkiana Np